Alex's Memory

4.7K 400 26
                                    

Special Part:

Alex P.O.V

***
Hari itu Mommy dan Daddy bertemu di rumah. Aku sangat bahagia. Setelah sekian lama mereka tidak datang bersamaan, akhirnya muncul. Aku sengaja menunggu di sofa. Mami datang terlebih dahulu, diantar oleh sopir dan asisten pribadinya. Aku berlari menyambut Mami, memeluk pahanya, batas tertinggi yang bisa kupeluk.

"Mami capek, Alex." Mami melepas pelukanku. Ia masuk begitu saja tanpa menatapku.

Senyum masih bertahan di wajahku. Tadi, aku menelepon Daddy, katanya ia akan pulang. Mungkin sekitar satu jam, mobil lain muncul di garasi. Sudah dua bulan aku tidak bertemu dengan Daddy. Ia berjanji akan membelikan mobil-mobilan yang baru.

"Daddy!" sambutku berlari ke arah pintu yang terbuka. Daddy duduk dan tersenyum. Ia merentangkan dua tangan menunggu pelukanku. Di dalam dekapannya selalu ada hangat dan janji untuk selalu bersama.

Aku masih ingat saat berusia empat tahun kami liburan di Islandia di musim dingin. Meski salju sangat tebal selalu ada pelukan hangat Daddy dan Mami. Setidaknya, tahun itu menjadi liburan bersama kami yang terakhir.

"Mami ada di dalam?" tanya Daddy yang kubalas anggukan. Daddy berdiri. Ia sempat menggosok kepalaku sebelum masuk ke kamar.

Didorong kerinduan, aku mengekor langkah Daddy berniat untuk masuk ke kamar Mami. Namun, aku langsung berhenti di depan pintu. Suara barang yang dibanting dan pecah bersahutan dengan teriakan dari kedua orang tuaku.

Usiaku masih tujuh tahun saat itu. Sama sekali tidak mengerti inti pertikaian mereka. Aku mematung di depan pintu. Teriakan-teriakan itu terus bersahutan, saling menyalahkan.

Saat pintu kamar terbuka, Daddy muncul dengan koper di tangan. Ia menggeret koper besar itu keluar.

"Daddy, where will you go?" Aku mengejar Daddy yang sudah hendak keluar.

"Daddy harus pergi, ada kerjaan. Nanti kalau pulang, kita liburan," janji Daddy malam itu. Ia sempat mengecup keningku lama. Hanya punggung dan koper yang kuingat saat terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah kami.

"Sekarang hanya ada kamu dan Mami. Mulai sekarang, kamu harus menurut sama Mami. Jangan cari Daddy-mu lagi!" omel Mami saat aku terus bertanya kapan Daddy pulang.

"Tapi, Daddy bilang dia akan pulang dan bawa kita liburan lagi," sanggahku kala itu.

"Cukup Alex! Mami capek, jadi jangan bikin pusing!"

"Alex rindu Daddy," ungkapku jujur. Sudah hampir setahun aku tidak bertemu Daddy saat itu.

"Kamu mau tinggal sama Mami atau Daddy! Kalo kamu terus begini, Mami akan kirim kamu ke Melbourne."

Aku langsung diam saat itu. Menunduk dan mulai menangis. Di situlah pertama kali aku tahu bahwa Daddy tidak akan pernah pulang. Janji-janji yang pernah ia ucapkan bohong, baik mobil-mobilan baru ataupun liburan bersama. Alasan utama aku benci pada janji, karena saat diingkari rasanya akan sangat sakit.

Sore itu aku lari dari rumah, tidak pergi jauh. Namun, pengasuhku cukup kelimpungan mencari. Aku pergi ke taman dekat rumah, bersembunyi di balik pohon cemara yang ada di sana.

Kenyataan bahwa aku dan Daddy tidak akan bisa bertemu lagi menyesakkan dada. Rasa sepi yang sering kurasa makin dalam.

"Al!" Suara manis yang selalu menemaniku memanggil.

Air mata yang menetes di pipi segera kuhapus.

"Aku tau kamu pasti di sini. Suster Rahma tadi mencari di rumah," cerita Tamara yang rambut lurusnya dikuncir sebagian, ada poni yang menutupi dahi hingga alisnya. Temanku yang cantik.

Suddenly Marriage (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang