Epilog

281 12 13
                                    

"Salah satu alasan kenapa kita harus bisa belajar mengetahui arti kata ikhlas adalah karena kita harus bisa mengendalikan emosi kita yang masih tertinggal di lembaran sebelumnya. Karena terkadang, rasa ikhlas itu bisa menjadi jahat bila kita tidak bisa mencoba memahaminya. Bilangnya memang ikhlas tapi nyatanya belum bisa benar-benar melakukannya. Kita bisa saja menyakiti diri kita jauh lebih dalam bila seperti itu atau bahkan bisa menyakiti orang-orang terdekat kita tanpa kita sadari secara langsung."

- Sayketa.

***

Gadis berambut hitam legam sebahu dan berponi. Mata besar yang bulat dengan bulu mata yang lentik. Gadis yang selalu suka dengan wangi parfum beraroma strawberry itu tampak melihat dengan dalam jendela yang sedang berembun dan meninggalkan bekas air titik-titik yang berasal dari awan mendung dan tampak ricuh suaranya itu dari luar.

Gadis itu memiliki lesung pipi di kedua pipinya. Ketika ia tersenyum sedikit, maka lubang yang indah di pipi itu akan terlihat. Apalagi saat ia memperlebar senyumnya. Maka akan semakin jelas lesung pipi itu terlihat.

Matanya terus menatap jendela itu, sampai sepersekian detik selanjutnya ia menulis beberapa kata yang ia tuangkan dari pena berwarna merah mudanya pada buku berwarna merah muda yang ia hias sendiri seperti hologram sederhana yang kekinian.

Tiba-tiba matanya ditutup seseorang dari belakang. Membuat gadis itu tak bisa melihat apapun kecuali kegelapan saja.

"Aku sudah tau siapa ini," sahut gadis itu.

"Papa selalu aja ganggu aku ya??" tanyanya menyudutkan dengan mendengus kesal.

Pria yang masih bisa menegakkan kedua bahunya dengan tegap walau usianya kian bertambah tua itu segera melepas kedua tangannya yang tadi masih menutup mata gadis itu. Pria itu terkekeh pelan, suara baritonnya mengudara di kamar gadis itu.

"Jadi kamu udah tau ya? Yah ... sayang banget, padahal mau Papa kagetin niatnya," selorohnya sambil terkekeh pelan.

"Papa ngapain coba?" tanya gadis itu menuntut dengan alis yang bersatu. "Aku lagi sibuk nulis mendalami hujan tau!" serunya bete.

Pria itu akhirnya menarik kursi dimana di bawahnya terdapat roda, yang berasal dari meja belajar gadis itu. Dia mendekatkannya pada bibir kasur agar bisa berhadapan dengan pria itu.

"Nadhira lagi nulis mendalami hujan?" tanya Jeffri dengan wajah yang dibuat-buat serius.

Nadhira mengangguk kecil. "Iya! Soalnya ... hujan itu kayak membuat Nadhira teringat akan sebuah kehilangan. Nadhira juga gak tau kenapa Pa, tapi, setiap Nadhira denger rintikkan suara hujan, Nadhira kayak kehilangan sesuatu yang begitu berharga di diri Nadhira, gak tau kenapa, rasanya kayak ada yang hilang tiba-tiba."

Jeffri tersenyum samar sambil mengelus kepala anak gadisnya itu yang sudah tumbuh menjadi gadis berumur enam belas tahun. Tahun ini anaknya itu akan masuk ke Sekolah Menengah Atas. Benar-benar tak terasa baginya bahwa putrinya kini sudah tumbuh dengan sangat cantik dan manis.

Lagi-lagi kenangan enam belas tahun yang lalu itu kembali terngiang di kepala Jeffri ketika Nadhira membicarakan tentang hujan dan kehilangan.

Itu terjadi saat Natasha dikuburkan di makam.

Saat itu, hujan badai tengah terjadi kala tanduk mayat Natasha yang sedang dibawa berjalan menuju ke tanah kuburan. Hujan begitu besar, angin-angin bertiup dengan sangat kencang. Satu-satunya orang yang percaya bahwa ini adalah tanda bahwa Natasha tak boleh dikuburkan hari itu adalah Jeffri. Hanya Jeffri seorang.

Mellifluous [Completed✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang