"JANGAN bandel!"
"Jangan nyusahin Nenek!"
"Jangan begadang!"
"Jangan bangun kesiangan!"
"Jangan telat makan!"
"Jangan males bantuin Nenek beres-beres rumah!"
Dan jangan lainnya sampai Cheryl rasa telinganya memanas mendengar larangan inilah, itulah, beginilah, begitulah. Ia sudah berusia genap 17 tahun sekarang, tapi diperlakukan seperti anak umur 7 tahun. "Iya, Ibu. Aku juga paham kalo yang begituan," jawabnya.
Ia sekarang tinggal sementara di rumah Nenek Arum, ibunya ibunya. Letaknya memang di pedesaan, tapi tidak terlalu kudet karena sinyal internet dan mini market sudah ada di sini.
Cheryl menopang dagu ketika ia duduk di depan rumah sambil memandang hijaunya pohon-pohon dan warna-warninya bunga yang ditanam oleh neneknya. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. 14.08. Astaga, ia bosan.
Karena kejenuhan mulai meradang, ia memutuskan untuk ke dalam rumah. Namun, saat ia baru berada di ambang pintu, tubuhnya seketika membeku melihat kedua orangtuanya, kakek-neneknya, serta seorang laki-laki yang tengah memakai kaus putih polos sedang berdiri memandangnya. Laki-laki itu, Chiko membawa sebuah bolu di tangannya dengan lilin menyala berangka 17.
"Happy birthday to you! Happy birthday to you!"
Suara itu menggema berulang kali di telinganya hingga membuat gadis itu mengulum senyum sambil memalingkan wajahnya. "Ya ampun, Cheryl pikir Ibu sama Ayah lupa," ujarnya sambil mendekati Ibunya.
Nita memeluk anaknya. "Masa lupa? Gak akan lupa lagi dong, Sayang," jawabnya sambil mengecup kening Cheryl. Ya, saat dulu nyaris tak pernah ada perayaan ulang tahun bersama.
Cheryl beralih memeluk Ayahnya.
"Selamat ulang tahun, ya, Sayang. Maaf gak ngasih surprise-nya tepat jam 12. Abisnya kamu malah pergi muncak," ujar Febri.
Cheryl hanya nyengir dan beralih memeluk Kakek dan Neneknya. Kemudian, matanya menatap mata Chiko yang memandangnya sambil tersenyum.
"Tiup dulu," titahnya sambil menyodorkan kue tart-nya pada Cheryl. "Doa dulu, biar gak jadi tua yang nyebelin," celotehnya.
Cheryl memutar bola matanya mendengar guyonan Chiko. Ia memejamkan matanya dan mulai berdoa, merapalkan keinginannya. Semoga Cheryl sama Fajar bisa sama-sama yakinin hati, pintanya dalam hati. Kemudian, ia meniup lilinnya dan langsung dibalas tepuk tangan Ayah-Ibu serta Kakek-Neneknya.
Chiko menaruh kue tersebut. "Tante Nita, Om Febri, Nenek Arum, Kakek Adam udah dipeluk," celetuknya. "Gue enggak?"
"Eh, gak boleh-gak boleh belum mukhrim," protes Kakek Adam dan langsung diikuti oleh orang tuanya dan Nek Arum.
Seketika tawa mereka pecah.
"Kalo belum mukhrim, boleh dong dihalalin?"
Cheryl membelalakkan matanya ketika mendengar Chiko sefrontal itu di depan kedua orang tuanya.
"Kalo anaknya mau," jawab Nita sambil terkekeh. Ia tahu maksud Chiko itu hanya bercanda, walau entah apa laki-laki itu mengatakan dengan maksud lain.
"Ya udah, mau dipinjem dulu, ya? Mau diajak jalan-jalan," izinnya.
"Iya, Ibu sama Ayah juga mau pulang dulu, ya, Ryl? Nanti minggu depan kami ke sini lagi sambil bawa raport kamu," ujar Nita.
"Langsung pulang?" tanya Cheryl dengan cepat.
"Ya iyalah, Ayah juga besok ada kerjaan," jawab Febri.
"Iya iya iya, deh, Ayah yang super sibuk," ledek Cheryl.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR √ [REVISI]
Jugendliteratur[FOLLOW SEBELUM BACA BIAR NYAMAN DAN JANGAN LUPA VOTE-NYA] Fajar itu, cowok ganteng dan kalem. Saking kalemnya, dia cuma senyum buat nanggapi omongan orang alias jarang ngomong. Salah satu anggota pramuka yang hobi futsal sama muncak. Berbeda dengan...