PROLOG
***
Kata macet di hari Senin apalagi pada saat jam makan siang memang sudah tidak asing lagi di Jakarta. Kemacetan itu sendiri tidak hanya terjadi di jalan raya saja ternyata. Di dalam warteg sederhana ini juga para manusia ikut-ikutan memenuhi ruangan dan menyebabkan antrean yang sedikit panjang. Tidak heran, warteg memang tempat yang cocok untuk mengisi perut para pegawai kantor yang kelaparan. Selain harga yang terjangkau, rasa dan porsi tentu menjadi alasan utama.
Dan saat ini, seseorang di dalam sana tanpa sadar sudah menyemburkan teh hangatnya. Memancing perhatian dari beberapa orang.
Matanya melotot tidak percaya menatap seseorang yang menjadi teman bicaranya saat ini.
Dia mengorek kuping dengan kelingking, “Apa, Mbak? Gue nggak denger.”
Seseorang di depannya menghela napas. “Jadi istrinya Mas Abhi, Cha. Gue bener-bener minta tolong.”
Dan yang dipanggil ‘Cha’ masih belum menghilangkan pelototan horornya. Dia masih menatap ngeri. “Lo lagi sakit ya, Mbak? Kok lo jadi ngelantur gini, sih.” Dia berdecak tidak habis fikir.
“Gue serius. Lo tau, gue udah dua tahun nikah dan sampe sekarang belum juga dikasih keturunan. Gue sampe malu sama keluarganya Mas Abhi, Cha.”
Salsha, atau Cacha kembali meraih gelas teh hangatnya. “Lo bisa cari cewek lain buat lo sodorin ke laki lo, mbak. Nggak harus gue, kan?”
Lagi-lagi, lawan bicaranya menggeleng keras. “Mas Abhi udah sering disodorin cewek sama keluarganya, Cha. Dan itu bikin gue takut, gue takut cewek-cewek itu malah jatuh cinta sama Mas Abhi.”
Salsha kembali mendesah keras. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepala wanita di depannya ini. Demi apa dia memaksanya menikah dengan suaminya hanya karena belum punya keturunan?
“Dan gimana lo bisa mikir kalau gue nggak bakal jatuh cinta sama Pak Abhi? Hot gitu orangnya.”
Mbak Seva berdecak. Dia meraih pipet dan menyeruput jus jeruknya. “Gue tau elo, Cha. Lo suka banget sama Satria.”
“Nah itu!” Dia menjentikkan jari ke hadapan Seva. “Lo tau gue suka sama Mas Satria tapi tetep maksa nyodorin laki lo ke gue?”
Kali ini Salsha bisa melihat Mbak Seva menggigit bibir, menahan tangis. “Hanya setelah lo melahirkan. Habis itu lo boleh balik ke kehidupan lo sebelumnya. Please, Cha.”
Salsha konsisten menggeleng. “Nggak akan, Mbak. Selain karena gue nggak mau ngerusak rumah tangga lo, gue juga nggak akan membiarkan kemungkinan-kemungkinan terburuk terjadi.”
Seva masih menatapnya, kali ini lebih tajam. “Lo yakin? Lo nggak ingat kondisi Nia?”***
Cuma cerita selingan. Karena idenya terus menggelitik di otak aku, yaudah aku tulis dan langsung post aja hehe.27 November 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wedding [SELESAI]
Romance[PART MASIH LENGKAP] *** Menurut Salsha, hal yang paling berharga setelah dia kehilangan harta, warisan, atau bahkan orang tuanya adalah Nia. Adik semata wayang dan juga keluarga satu-satunya yang dia miliki. Saat usianya 20, kehidupannya jungkir b...