Bersama sepucuk surat ini, Tuan. Kuceritakan perihal keadaanku yang berada di ambang pasrah akan kegilaan massal dari perilaku lengan-lengan rupiah. Perutku yang berlubang bekas operasi plastik dan timbunan sampah. Kepalaku gundul kehilangan serat serabut hanya untuk sekeping upah, paru-paru sesak mengempis kala menghisap polusi menyeruak dalam kabut yang berulah. Tuan, aku melemah!
Bersama suara mesin membisingkan pun memekakkan telinga yang tergilas ekskavator, berdalih pada pelebaran tatanan kota hingga tunduk di bawah telunjuk penguasa, mengeruk tubuhku yang tak lagi berdaya, terlunta-lunta. Aku pun terperangkap dalam diam menyaksikan kulitku dibakar keserakahan tanpa belas asih pada makhluk yang Maha Penyayang.
Di atas kertas ini, kuhanya ingin menyampaikan pesan apabila seandainya Tuhan menegur dan membalikkan keharmonisan kasur-kasurmu. Bukannya kita telah sepakat, di mana aku hidup dalam ketelanjangan, kau pun terlelap dalam kebimbangan?
Untuk itu jangan kau biarkan aku dalam keadaan tidak baik-baik saja, Tuan! Tangis yang mengalir pada anak-anak sungai, retak karena keroposnya penyangga tulang, bisa menyebabkan tunas-tunas itu mati tergerus bahkan sebelum langit dikibarkan.
Madura, 19 Desember 2020
Ps
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN SAJAK
PoetryPuisikan Jiwa Liarkan kata Maka, lihatlah! Keindahan sastra