18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jovanka terperanjat, suara jantungnya sampai terdengar jelas di telinganya. "Saya tidak butuh uang kamu, juga rumah sialan itu, saya tidak peduli! Proyek itu akan tetap berjalan, Royal Plaza akan tetap berdiri megah, kecuali. Kecuali kamu mau menjadi pelacur saya, memberi saya kepuasan maka kamu akan mendapatkan rumah itu kembali." Bagaimana kalimat perkalimat itu diucapkan dengan begitu lancar. Dan apa Jerome tidak bisa melihat bagaimana air mata gadis yang baru saja ditawarinya menjadi pelacur itu kini meluruh jatuh membasahi bola matanya lalu turun dikedua pipinya. Bukankah itu sangat menjelaskan bahwa setiap perkataannya telah berhasil melukai kehormatannya sebagai seorang perempuan. "Kamu hanya punya waktu sampai besok. Keputusan kamu yang akan menjadi penentu bagaimana nasib rumah itu. Dan jangan anggap diri kamu special, karena semenjak kamu memutuskan pergi dengan pria lain, bagiku kamu tidak lebih dari wanita murahan diluar sana." ***