Sore Tanpa Senja 23

56 8 2
                                    

Suara derik pintu yang terbuka tak membuat Senja merasa takut. Apalagi setelahnya disusul derap langkah kaki yang dihapalnya. Senja menggigit bibir bawah, menatap jam dinding di kamarnya dengan perasaan tak terbaca. Pukul empat pagi adalah waktu yang sama seperti yang dulu sering terjadi--saat ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan menciptakan keributan di rumah.

Suara langkah ayahnya berhenti. Mungkin pria itu tengah duduk di sofa, karena Senja tak mendengar langkahnya menuju dapur. Dengan masih meringkuk memeluk bantal, Senja membekap isakannya sendiri. Ayahnya hanya harus tahu bahwa dia sudah tidur.

Namun, pintu kamarnya yang diketuk bukanlah pertanda baik. Ini terlalu dini hari untuk memulai percakapan berat. Dan, Senja tentu belum siap untuk hal itu.

"Nak?"

Air matanya sudah seperti hujan mendengar panggilan yang seumur hidup belum pernah didengarnya itu. Senja membekap mulut semakin kuat, tak ingin terisak, tak ingin jatuh sampai rusak. Dadanya yang bergemuruh sakit di dalam sana seolah tidak memiliki obat.

"Ayah tau kamu belum tidur," ucap Elang kemudian. Senja masih tak ingin buka suara meski ayahnya tahu dia tidak tidur. Percakapan berat itu, sungguh Senja tidak ingin memulainya saat ini.

Senja tidak tahu apa yan terjadi di luar, dan apa yang terjadi pada ayahnya. Tetapi, ketika mendengar pintu kamarnya yan sudah dikucinya berderik, gadis itu yakin bahwa ayahnya masih di sana. Duduk bersandar di daun pintu kamarnya. Entah dengan perasaan yang sama kacaunya.

"Senja?" Ayahnya memanggil, sedangkan Senja benar-benar belum siap. Jadi, yang bisa dilakukannya hanya membekap mulut lebih kuat agar tidak terisak.

"Ayah minta maaf, Nak. Ayah minta maaf."

Senja melepaskan bekapannya, menghapus air matanya dengan kasar, lalu memandang pintu nyalang. Benar, ternyata ayahnya telah membohonginya selama ini. Permintaan maaf itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Sudah cukup membuat Senja sampai sehancur-hancurnya.

Maka, membawa perasaan marah, kecewa dan terlukanya, Senja membuka pintu kamarnya. Sempat membuat ayahnya terkesiap sampai hampir terjatuh. Senja mungkin tidak butuh wanita itu lagi dalam hidupnya. Hanya saja, Senja butuh penjelasan setelah belasan tahun hidup dalam drama yang diciptakan kedua orang tuanya.

"Ayah hutang penjelasan sama aku."

***

Setelah ditinggal Senja, Elang marah besar kepada Dia, mantan istri sekaligus ibu kandung Senja. Dia sudah tidak peduli jika diusir dari restoran dengan cara tidak hormat. Tindakan gegabah Dia bukanlah sesuatu yang bisa dimaafkannya.

Elang tentu menjadi pusat perhatian. Amarahnya yang tak terkontrol sudah sampai titik membalikkan kursi yang didudukinya. Jika saja tidak ada Dendi dan Aksa, Elang mungkin sudah memaki-maki Dia di sana.

Dan, mereka benar-benar diusir oleh petugas keamanan akhirnya. Masih sempat terjadi perdebatan alot antara Elang dan Dia di depan restoran. Elang menyalahkan Dia yang tiba-tiba datang dan mengejutkan anak gadisnya. Sedangkan Dia melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa dia punya hak untuk melakukan hal itu.

Perdebatan mereka baru berakhir saat Dendi menarik paksa Elang untuk pulang. Namun, Elang tidak benar-benar pulang. Elang tahu Senja butuh waktu untuk menerima kenyataan yang dia tutupi belasan tahun ini. Pria tiga puluh enam tahun itu menghabsikan waktu berjam-jam untuk merenung di depan kedai Dendi yang tutup hinga pukul tiga pagi.

Setelahnya--tanpa sepengetahuan Dendi--Elang meninggalkan kedai sahabatnya itu dan pulang dengan berjalan kaki. Berjalan kaki sendirian pada pukul tiga pagi memang bukan hal yang dianggap waras. Hanya saja, Elang berharap dengan melakukan hal ini pikirannya dapat sedikit jernih.

Dia baru sampai di rumahnya pukul empat pagi--setelah berjalan tak tentu arah selama satu jam. Lampu kamar Senja yang menyala dapat dilihatnya dari jendela. Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa anak gadisnya jauh lebih merasa kacau.

Dengan langkah pelan, Elang memasuki rumah. Mencoba bungkam awalnya. Namun, mengingat Senja juga sedan terjaga, memberanikan Elang untuk menjelaskan semua.

"Nak," panggil Elang. Perasaan berkecamuk di dadanya semakin menjadi-jadi setelah mengucap satu kata itu. Seumur hidupnya menjadi seorang ayah, belum pernah Elang memanggil anaknya itu dengan sebutan seperti itu.

"Ayah tahu kamu belum tidur," ucapnya. Pria itu duduk di lantai, bersandar di pintu kamar anaknya. "Senja?" Elang mendongak, menahan air matanya. "Ayah minta maaf, Nak. Ayah minta maaf."

Tak berselang lama dari Elang mengucapkannya, pintu di belakangnya terbuka. Sempat membuat Elang terkesiap dan hampir terjatuh. Pria itu mendongak, menatap putrinya yang kini menatapnya putus asa.

"Ayah hutang penjelasan sama aku."

Ya, Elang memang harus menjelaskannya dari awal kisah itu bermula.

***

Ini lebih pendek lagi hihi, tapi semoga kalian masih suka:"

Part ini sengaja kupublish sebagai pembuka kisah Elang sama Dia. Spoiler dikit, kita bakal flashback ke masa-masa mudanya ayah Elang🤗

Jangan lupa tinggalkan jejak

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang