Sore Tanpa Senja 22

70 8 3
                                    

"Gue terima kalau ayah nggak sebaik ayah-ayah orang lain di luar sana. Gue juga terima kalau ayah selalu ngerepotin gue, bahkan cenderung nggak peduli sama gue."

Teras rumahnya yang tak begitu terang menjadi pelarian Senja. Yang dilakukannya ini mungkin bisa mengundang kecurigaan warga--membawa teman laki-laki ke rumah saat ayahnya tidak ada. Tetapi, Senja mencoba tidak peduli.

Gadis itu sudah selesai menangis. Sudah selesai membasahi lengan baju, dada, hingga bahu Adam dengan air matanya. Puas menangis Senja akhirnya tertidur dengan bersandar di dada Adam, masih di teras rumahnya.

Senja terbangun pukul sepuluh malam. Isak tangis Senja sudah mulai mereda. Namun, suaranya masih sengau dan matanya masih sembab. Menangis dalam kurun waktu yang tak sebentar telah membuatnya tampak seperti manusia yang bosan hidup. Berantakan.

Lalu, setelah mengumpulkan kesadarannya hingga utuh, Senja mulai bercerita sebab apa yang membuatnya merasa dunia sangat jahat padanya hari ini. Adam tetap mendengarkan, selalu.

"Yang gue nggak terima itu kalau ayah bohongin gue selama ini, Dam," ujarnya, srmbari merapatkan jaket Adak di tubuhnya. "Ayah bilang kalau ibu gue udah meninggal, tapi ternyata dia masih hidup."

Senja sedang tidak ingin melihat ekspresi terkejutnya Adam. Toh, Adam pasti terkejut. Senja saja merasa begitu kaget sampai berpikir bahwa dia sedang bermimpi. "Ibu gue masih hidup, dan ayah sengaja ngejauhin gue dari dia," ungkapnya, hampir ingin menangis lagi.

Adam mencoba menyangkal tuduhan itu dengan mengatakan, "mungkin aja bokap nyokap lo punya masalalu yang misahin kalian."

"Apa?" tanya Senja, menatap Adam putus asa. "Kenapa ayah nggak pernah cerita dan malah bohongin gue selama ini?"

"Senja ...,"

"Lo nggak tahu, Dam, gimana rasanya benci sama orang tua sendiri. Mereka sama aja. Ibu gue ngebuang gue, dan ayah bohongin gue dan malah nggak nganggap gue kayak anaknya. Kadang gue mikir, Dam, gue tuh anak siapa, sih, sebenarnya?"

Adam yang tidak pernah menemukan kemelut hidup serumit Senja hanya bisa mendekap gadis itu lebih erat. Menguatkannya dengan genggaman erat. Dia tak yakin ini berhasil. Hanya saja, dia berharap Senja dapat sedikit tenang.

"Gue nggak mau ketemu ayah," tukas Senja. Gadis itu menjauhkan diri dari Adam dan menatap sahabatnya itu dengan penuh keyakinan. Namun, Adam malah menggeleng, tidak menyetujui hal itu.

"Kalau lo nggak ketemu ayah lo, gimana caranya lo bisa tahu yang sebenarnya? Ibu-ibu itu juga belum tentu nyokap lo, 'kan? Bisa aja dia orang lain," ujar Adam.

"Lo nggak liat langsung, Dam. Itu ibu-ibu mirip banget sama gue."

"Pokoknya lo harus ketemu ayah lo!" tandas Adam. Menurutnya, itu adalah solusi paling tepat.

"Kalau kenyataannya iya gimana? Gue belum sanggup nerima ini," aku Senja. Dia kembali bersandar, kali ini di bahu Adam. "Gue bahkan nggak yakin mau ketemu dia lagi, Dam."

"Kalau lo nggak sanggup, jangan dipaksain. Tunggu sampai lo benar-benar siap nerima semuanya."

Senja menjauhkan diri lagi dari Adam, mendongak menatap sahabatnya itu. "Lo bakal di sini, 'kan?"

"Dimana?"

"Di sini, sama gue. Lo nggak akan ninggalin gue sesulit apapun keadaan gue, 'kan, Dam."

Adam tertawa. Tetapi, bukan jenis tawa mengejek. Setelah tawanya selesai, dia malah menatap Senja teduh sembari mengusap rambutnya yang digerai. "Kok lo jadi tiba-tiba manis gini, sih?" tanyanya. "Kesambet apaan?"

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang