Sore Tanpa Senja 7

79 11 9
                                    

"Gue ketemu dia di Bandung."

Elang tersedak teh manis dingin yang baru diberikan Dendi. Pria itu bahkan memejamkan mata karena air yang masuk ke hidungnya. Sialan Dendi.

Setelah meredakan keterkejutannya, Elang lantas bertanya sinis, "terus masalahnya sama gue apa?"

Dendi yang tadinya berdiri di samping mejanya, berpindah duduk ke hadapannya. Dari tatapannya saja, Elang yakin Dendi akan menyumpah-serapahinya lagi kali ini.

"Lo masih waras gak sih, Lang?" decak sahabatnya itu. "Gini nih kalau keseringan nongkrong di warung remang-remang, otak lo makin rusak jadinya."

Lihat, 'kan? Ah, Elang jadi menyesal datang ke kedai kopi pria itu ketika hari sudah sore--otomatis warungnya sepi dan dia punya banyak kesempatan memberi wejangan yang membuat telinga Elang berdengung.

"Lah? Gue salah apaan? Emang gak ada urusannya sama gue 'kan?"

"Nggak ada urusannya sama lo? Dia itu 'kan--"

Elang mengarahkan telunjuk ke bibir Dendi, meminta pria itu untuk diam. "Jangan lo lanjutin, Den, plis. Hati gue bisa berdarah-darah kalau ingat itu."

"Baperan amat sih, lo! Udah tua juga." Dendi menatapnya sinis. Padahal Elang tidak berbohong  ketika mengatakannya. "Lang, lo pikirin juga dong nasib Senja."

Elang yang kembali menyeruput teh manis dinginnya, menyahut tak terima. "Kalau gue nggak mikirin Senja, udah dari lahir dia gue titipin di panti asuhan. Atau lebih bejatnya, gue jual ke orang kaya yang nggak punya anak. Lumayan duitnya buat gue, biar nggak ngutang-ngutang mulu cuma buat beli susu bayi."

Mata elang pria itu menyendu. Kilatan sakit dan kekecewaan tergambar jelas. Dadanya seolah menyempit, Elang kesusahan bahkan hanya untuk menghirup udara. "Gue cinta sama dia melebihi apapun, Den," lirihnya melanjutkan. "Dan lo tau itu. Nggak ada yang berubah sampai sekarang, Den. Gue masih cinta sama dia dan gue masih gila karena dia."

"Gue tau, Lang. Gue tau," ujar Dendi. Mungkin tengah mencoba menengahi pergolakan batinnya. "Tapi lo punya Senja. Lo punya anak yang harus lo bahagiakan. Lo nggak bisa ngajak dia buat susah-susah terus."

Di luar dugaannya, Elang malah bangkit dan menarik kerah bajunya. Mata elang pria itu berkilat marah. Wajahnya memerah. "Jadi maksud lo, kalau gue nemuin dia, Senja bakal bahagia? Gitu? Apa-apan lo, Den? Lo ngajakin gue ribut? Lo tau 'kan, gue yang ngerawat Senja dari lahir, dan tanpa campur tangan dia."

Dendi berusaha tak terpancing emosi. Diturunkannya tangan Elang perlahan. Lalu meminta pria itu untuk kembali duduk. Topik sensitif ini memang selalu memancing kesedihan sekaligus kemarahan Elang.

"Sorry, gue nggak bermaksud buat nyinggung lo tentang ini, Lang. Gue cuma kasian sama anak lo. Lo nggak tahu apa yang sebenarnya dia pengen, 'kan?"

Wajahnya yang keras perlahan mengendur. Elang menghela nafasnya perlahan. Apa yang dikatakan Dendi memang benar. Namun, sampai langit bertemu bumi sekalipun, Elang tidak akan rela kehilangan Senja.

"Pernah gak lo liat wajah Senja waktu dia tidur?" Pertanyaan Dendi yang melenceng dari pembicaraan mereka sebelumnya, membuat Elang mengernyit bingung.

"Pernah." Elang menjawab ragu. "Dulu. Waktu dia kecil kayaknya," sambungnya.

"Nanti malem lo liatin deh tuh wajahnya pas tidur! Lo perhatiin! Tanya sama diri lo apa yang udah lo kasih ke dia? Ada gak kasih sayang selayaknya ayah lo kasi ke dia? Pernah gak dia  ngerasa bahagia dengan kehadiran lo? Gue sahabat lo, Lang. Sekeras apapun ego lo, gue tahu lo berharap yang terbaik buat Senja."

Kali ini Elang memusatkan atensi sepenuhnya pada Dendi. Mencerna tiap kalimat yang dilontarkan sahabatnya itu. "Jangan siksa Senja dengan keegoisan lo. Gue tahu lo sayang sama dia, lo cuma nggak tahu gimana cara nunjukinnya. Dan gue juga yakin, Senja sayang sama lo lebih dari apapun."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang