Sore Tanpa Senja 38

53 4 0
                                    

"Lo kata gue bocah kali ya, Dam, dikasi susu beginian?"

Adam menarik sudut bibirnya lebih dalam mendengar celotehan Elang. Meski pria itu berceloteh tentang susu kotak yang dibawanya, tak ayal dia tetap mengambil satu susu kotak rasa strawberry dan menyesapnya pelan-pelan.

Lalu, keduanya hening.

Adam sibuk menghitung burung-burung yang terbang bergerombol di atas pandangannya, awan yang berarak pulang, dan matahari yang meredup, menyisakan biasa cahaya oranye yang memenuhi langit Jakarta sore itu.

"Kalau aja gak ada gedung-gedung tinggi nyebelin itu, pasti sunsetnya bakal lebih indah deh, Om. Kayak ... kayak kita lagi liat di pantai," ujarnya, tanpa menoleh.

Elang bergumam sebentar. Terdengar deheman samar sebelum suara pria itu terdengar. "Kalau kamu gak nyaman ada di sini, pulang aja, Adam! Om tahu, kok, ngeliat sunset dari atap gedung kayak gini tentu gak lebih indah dari ngeliat sunset di pantai. Om juga gak mungkin ada di sini kalau tempat ini gak punya kenangan tersendiri."

"Om tahu Recaka Harsa?" tanya Adam tiba-tiba. Kali ini dia menoleh.

"Siapa tuh? Temen sekolah kalian?"

"Bukan, Om Elang. Recaka Harsa itu penulis novel. Aku gak terlalu ngikutin karyanya, sih, Om. Tapi aku pernah baca satu novelnya waktu aku SMP."

"Ngelantur nih anak."

"Serius, Om Elang. Judul novelnya 'Singgah'. Ceritanya tentang satu cewek yang benci kehilangan, tapi dia harus dihadapin sama kehilangan itu. Om tahu apa kebiasaan uniknya?" Tanpa menunggu jawaban Elang, Adam melanjutkan. "Duduk di halte sendirian. Halte itu letaknya dekat bak sampah besar, mana di depan halte itu suka ada keributan karena pengguna jalannya sembarangan."

"Terus?"

"Tapi dia betah di sana, Om. Cewek itu betah duduk lama-lama di halte bau sampah itu walau bagi orang lain tempat itu jelek banget."

"Aah, paham nih gue," cetus Elang.

Adam mengangguk-angguk sok bijak. Saat Elang menyesap lagi susu kotak rasa strawberry-nya, Adam berujar, "kayak yang Om bilang, suatu tempat itu jadi berharga bukan karena bagus atau enggak, tapi karena kenangannya."

Menanggapinya, Elang tertawa. Tak segan-segan dia menepuk-nepuk pelan bahu Adam hingga cowok itu meringis. "Bisa aja ya lo. Pake dianalogiin segala. Kenapa gak langsung ngomong aja coba?"

"Biar aku keliatan bijak, Om," jawab Adam tanpa ragu.

Susu kotak rasa strawberry Elang sukses habis. Usai meremuk kotaknya dan meletakkannya di dekat kakinya, pria tiga puluh enam tahun itu menatap Adam penuh selidik. "Ada apaan, nih?" tanyanya. "Aneh banget lo."

"Aneh apanya, Om?" tanya Adam. Visual wajah Elang tak tampak begitu jelas lagi karena matahari yang semakin sedikit menyisakan cahaya.

"Ya ... aneh aja. Kamu dateng ke sini, bawain susu, ceramah ini itu, sampe bikin analogi-analogi apalah itu rasanya aneh tau gak?"

Adam mengendikkan bahunya acuh. Alih-alih menyahuti perkataan Elang, cowok itu malah mengambil ponsel dan mengabadikan potret langit senja yang tak begitu memukau sebenarnya. "Mau aku tunjukin ke Senja nih nanti, Om. Aku bakal bilang walaupun Senja gak ada, ada senja lain yang nemenin aku di sini."

"Terserah lu dah!" Elang menyerah. Tampak pria itu mencari-cari batang rokoknya yang diam-diam sudah disingkirkan Adam. Tak menemukannya, pria itu memilih diam saja sembari menatap langit yang semakin menggelap.

Keheningan yang tenang menyelimuti dua laki-laki lintas usia itu. Selain bunyi kendaraan di bawah sana, suara orang-orang kampung yang terdengar sayup, dan hembusan nafas masing-masing, baik Adam dan Elang tidak mendengar banyak hal lain. Hingga akhirnya Adam memecah kesunyian itu.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang