Sore Tanpa Senja 20

75 8 7
                                    

"Saya sudah menemukan alamatnya." Ada jeda panjang setelah wanita berambut sebahu itu mengucapkannya. Tatapannya menyendu di antara kopi yang tinggal setengah, dan jalanan Jakarta yang tak pernah sepi. "Saya takut, Ras. Saya takut ditolak atau malah ... dibenci."

Ketakutannya memang bukan hal yang dapat ditakar. Manusia manapun di muka bumi ini pasti pernah merasakannya, takut pada penolakan. Dan, penolakan yang mungkin diterimanya bukan sesuatu yang mudah untuk diterima.

"Tapi, Di ...," jeda. Saras, teman masa SMA-nya sama ragunya. "Kamu harus ketemu dia, Di. Setidaknya dia kenal sama kamu."

"Kak Elang pasti sudah menceritakan banyak hal buruk tentang saya, Ras. Saya ragu bisa dimaafkan."

Langit Jakarta yang menggelap sekelam pembicaraan mereka. Tentang masalalu yang sakitnya tak pernah berhenti. Tentang penyesalan yang dia sendiri tidak tahu bagaimana cara memulihkannya.

"Seorang anak punya naluri yang kuat tentang ibunya, Dia." Saras mencoba meyakinkan, lagi.

Entah sudah berapa kali Dia, wanita di depannya ini datang menemuinya dan menceritakannya mengenai hal yang sama. Saras tidak bosan, sungguh. Malah dia merasa prihatin melihat permainan takdir yang seenaknya di hidup wanita yang pernah menjadi sahabat dekatnya di masa SMA dulu.

Beberapa bulan yang lalu, entah kapan tepatnya, Saras menerima telepon dari nomor tak dikenal. Tanpa ragu wanita tiga puluh lima tahun itu mengangkatnya. Suara pertama yang didengarnya adalah suara teman lama yang sudah lama hilang. Saras  bahkan tak bisa membendung air mata ketika ditanyai kabar.

Sang penelepon adalah Dia, sahabat masa SMA-nya. Belasan tahun tanpa kabar membuat Saras menyambutnya dengan baik. Saras bahkan sukarela mengiyakan ajakan bertemu Dia, meski itu artinya dia harus menempuh perjalanan ke Bandung.

Dia bercerita banyak hal. Tentang keluarga kecilnya yang kini menetap di Kalimantan serta usaha properti suaminya. Dia juga membagi kabar tentang anak keduanya yang sudah duduk di kelas empat SD. Saras turut bahagia, sebab hilangnya Dia bukan karena wanita itu terluka.

Di pertemuan pertama itu Dia sama sekali tidak menyinggung soal seseorang yang paling diharapkan Saras kabarnya. Hingga Saras tergerak untuk bertanya. Apa kira-kira yang menyebabkan wanita itu datang ke Bandung? Bukankah hidupnya sudah sangat nyaman di Kalimantan. Jawaban Dia akhirnya menjawa rasa penasaran, sekaligus membuat Saras merasa ragu.

"Saya mau ketemu Kak Elang, Ras," kata Dia waktu itu. "Sekalian suami saya ada pekerjaan di sini, makanya saya bisa lama."

Alasan itu pulalah yang mengantarkan Saras pada pertemuan-pertemuan berlanjut dengan Dia. Hingga pagi tadi, Dia meneleponnya dengan suara terisak. Wanita itu menceritakan mimpinya yang menyakitkan, tentang seorang anak perempuan yang menangis sendirian. Dia merasa tersiksa dengan mimpi itu dan ingin menemui Elang sesegera mungkin.

"Aku tidak bisa membayangkan kalau anakku sudah tak bersama Elang, Ras," aku Dia. Pandangannya yang sendu sarat akan rasa sakit.

Saras menghela nafas berat. Merasa tidak suka dengan pernyataan itu. "Bukannya kamu yang lebih dulu menolak kehadirannya, Di?" tembaknya.

"Kalau bukan karena papa, aku nggak mungkin melakukan hal itu, Ras. Aku juga punya mimpi untuk bersama Kak Elang." Mimpi yang sayangnya harus dia kubur dalam-dalam.

Iba, Saras menyapu bahunya menenangkan. Dia sendiri tak dapat lagi menahan tangis kepedihannya. "Aku hanya mau ketemu anakku, Ras. Hanya itu. Tapi rasanya susah sekali."

Dan, atas nama persahabatan yang dulu pernah terjalin di antara mereka, Saras menawarkan janji. "Aku bakal bantuin kamu ketemu Elang dan bicara baik-baik dengan Elang, Di. Aku janji."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang