Sore Tanpa Senja 25

66 7 0
                                    

Menjadi seorang atlet adalah cita-cita Elang semasa kecil. Membayangkan dirinya dihadiahi berbagai tropi yang dapat membanggakan ibunya seperti kekuatan tersendiri yang membuatnya ingin terus bermimpi.

Namun, sejak insiden di mana ayahnya membunuh ibunya sendiri, Elang kehilangan impiannya itu. Kepergian ibunya sudah sangat membuatnya hancur. Elang tidak ingin menambah kehancuran dengan membawa pulang tropi tanpa ada ibunya lagi.

Maka, saat Elang duduk di bangku sekolah dasar waktu itu, dia membatalkan ikut tanding. Keputusannya waktu itu tentu disayangkan, mengingat Elang merupakan siswa yang cukup berpotensi untuk menjadi kebanggan sekolah. 

Sejak itu, tidak ada lagi mimpi menjadi seorang atletik. Elang hanya ingin belajar dengan baik hingga ke perguruan tinggi, lalu membuka usaha yang semoga membuat ibunya yang di surga merasa bahagia. Sesederhana itu keinginan Elang.

Menginjak SMA, perencanaan hidup Elang semakin terarah. Elang ingin mempertahankan nilai-nilai bagusnya, lalu masuk perguruan tinggi dengan beasiswa. Setelah itu Elang sudah berencana ingin membuka usaha sendiri yang akan menghidupinya.

Meski saat itu dia sebatang kara dan tidak bergantung hidup pada siapapun, Elang merasa bisa melakukan semuanya dengan baik. Satu-satunya tempatnya untuk berkeluh kesah adalah emak Rumi. Tidak ada hubungan kekerabatan yang mengikatnya dengan emak Rumi. Namun, sejak ditinggal ke-dua orang tuanya, wanita itulah yang paling peduli padanya.

Perempuan berada di nomor terakhir dalam daftar perencanaan hidupnya. Jangankan berpikir untuk menikah di kemudian hari, pacaran saja tidak pernah terpikir dalam kepalanya. Namun, sejak gadis polos yang sering bertanya banyak hal itu masuk ke hidupnya, Elang jadi berpikir untuk membuat sedikit perubahan dalam perencanaan hidup yang dibuatnya.

Tentu hanya Thalita Putri Dia yang boleh masuk dalam rencana hidupnya. Elang tak mengharapkan orang lain, tak terpikir akan ada orang lain. Elang jadi bahan olokan, tentu saja. Dia yang awalnya menolak keras kehadiran Dia, sekarang malah suka rela diikuti ke mana saja oleh gadis itu.

Hari itu pertengahan bulan Desember. Sejak siang hujan tidak berhenti, yang membuat Elang terpaksa bertahan lebih lama di sekolah. Kantin sekolah menjadi tempat Elang berteduh, ditemani mangkok mie ayam yang sudah kosong isinya, dan es teh manis yang tersisa setengah. Jangan lupakan Dia, gadis itu tentu bersamanya.

"Kenapa?" tanya Elang hari itu, ketika Dia menatapnya seolah-seolah Elang adalah bintang terkenal yang dikagumi.

Dia menggeleng, masih menahan senyum di bibirnya. "Kalau diperhatiin, ternyata Kak Elang ganteng juga," celetuk Dia.

Elang memutar bola matanya jengah. Menyeruput es teh manisnya yang sempat jadi omelan Dia karena Elang meminumnya saat hujan-hujan begini. "Emang kalau nggak diperhatiin, jelek?"

"Nggak, sih." Dia terkekeh. "Tahu nggak, kenapa aku bisa suka sama Kak Elang?"

"Karena ganteng."

"Yup!" Dia membenarkan. Gadis itu memang terlalu jujur. "Selain itu, Kak Elang juga misterius dan bikin penasaran. Saat cowok-cowok lain pada ngeliatin kalau aku jalan, Kak Elang malah nggak peduli. Dingin banget. Tapi, itu yang buat aku suka."

Sebelah sudut Elang tertarik. Tangannya terulur mengacak poni gadis itu. "Jujur banget, sih," katanya.

"Liburan nanti, Kak Elang mau jalan-jalan ke mana?" tanya Dia. Mengingat sebentar lagi akan libur panjang sekolah.

"Nggak ke mana-mana. Mau nambah sift kerja aja kayaknya."

"Nggak pengen jalan-jalan ke mana gitu?"

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang