Sore Tanpa Senja 12

70 8 6
                                    

"Mar, mau kemana?"

Pertanyaan itu Senja lontarkan di istirahat pertama saat Maryam akan beranjak keluar kelas. Maryam menoleh, membalas tatapan Senja yang menunggu jawabannya. "Mau ke musholla," jawabnya.

Tanpa diduga, Senja bangkit dari duduknya dan mengeluarkan mukena pemberian Maryam dari dalam tasnya. Maryam heran, namun senyum tipis menyambangi bibirnya tak lama kemudian. Pun dengan dua orang yang duduk di belakang mereka. Jangan tanya bagaimana menjijikkannya wajah lebay Adam saat ini.

"Gue ikut, Mar," ujarnya, menyusul Maryam dengan langkah santai. "Lo mau sholat dhuha, 'kan?"

Maryam mengagguk kaku. "Kamu yakin?"

Senja membiasakan diri untuk sholat lima waktu tanpa ada bolong saja, baru beberapa hari ini. Mengejutkan rasanya jika sekarang dia mengamalkan yang sunnah. Perubahan luar biasa yang membuat Maryam cukup terperangah.

Tidak salah rupanya bahwa Allah bisa memberi hidayah kepada hamba-Nya lebih cepat daripada kedipan mata.

"Yakin lah. Gini-gini gue juga pinter matpel agama tau," pongahnya.

Maryam mengiyakan saja dan mengajaknya pergi. Seharusnya obrolan ini tidak akan terdengar aneh atau mengejutkan, jika saja Abi dan Adam tidak sedang duduk di bangkunya masing-masing--di belakang bangku Senja dan Maryam. Tetapi, karena Adam dan Abi menonton interaksi Maryam dan Senja barusan, mereka tidak bisa menutupi keterkejutan.

Abi mengerutkan kening, sedangkan Adam menatap pintu kelas dengan lebay. Akhir-akhir ini Senja memang selalu bersama Maryam. Tetapi, tetap terlihat aneh kalau Senja mendadak alim hanya karena berteman dengan Maryam.

Senja itu keras kepala. Segala keputusan dan keinginannya sulit dipatahkan. Mengejutkan jika tiba-tiba hatinya luluh semudah itu.

"Apa cuma gue?" tanya Adam menghadapkan tubuhnya sepenuhnya pada Abi.

"Gue juga." Seolah dapat membaca isi kepalanya, Abi menyahut. "Lo mau bilang kalo Senja akhir-akhir ini berubah aneh 'kan? Sama. Itu juga yang ada di pikiran gue."

"Kok bisa ya, Bi? Ini karena dia temenan sama Maryam atau gimana?"

Abi tak menjawab. Tidak hanya Senja. Ayah sahabatnya itu juga berubah lebih baik padanya belakangan ini. Apa ini ada  hubungannya? Ayah dan anak itu jarang akur, tentu Abi agak heran saat melihat keduanya berbaikan.

Lepas berjibaku dengan pikirannya, Abi menjawab. "Ini gak mungkin cuma karena Maryam, Dam. Gue tahu banget Senja, dia gak mudah luluh kalau hanya dikasi teori."

"Tapi 'kan, dia jadi berubah gini sejak ngenal Maryam."

Abi menolehkan kepalanya. Menatap Adam seolah pria itu tak percaya padanya. Memangnya siapa Adam dibandingkan dirinya yang sudah mengenal Senja sejak kecil. "Lo yakin nanya gue?" tanyanya datar.

"Ya elo, lah. Emang siapa lagi?"

"Heran aja gue. Lo nanya kayak gue kenal sama Senja baru kemarin. Gue tahu dia, dia kayak gini pasti bukan seluruhnya karena Maryam."

"Terus karena apa?"

"Gue juga gak tau."

Keduanya saling diam. Berperang dengan pikiran masing-masing pada orang yang sama. Yang anehnya sampai saat ini belum bercerita apapun tentang perubahan mendadaknya ini.

"Hari ini kalian latihan?" Abi bertanya setelah beberapa saat hening.

"Iya. Senja harus latihan hari ini. Gue yakin dia bakal kena sembur Pak Azmi entar."

"Entar ingatin cepat pulang, ya. Dia orangnya suka lupa soalnya," pesan Abi. Buku yang tadi sempat dianggurkannya di atas meja, kembali dijadikan perhatian.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang