Sore Tanpa Senja 32

59 8 5
                                    

Satu jam sebelum seluruh peserta O2SN dikumpulkan untuk pemberian arahan dari panitia, sahabat yang disukai Adam sejak kali pertama melihatnya itu menyeretnya ke sudut gedung olahraga SMA Satya Darma, sekolah yang menjadi tuan rumah untuk O2SN tahun ini.

Wajah gadis itu tampak berbinar-binar, kelewat cerah. Tetapi, Adam meyakini itu sebagai manipulatif berencana. Bertemu ibu kandungnya dan pertengkaran dengan Abi tidak membuat Adam yakin bahwa hari ini gadis itu baik-baik saja, meski Adam berharap demikian.

"Lo mau berenang?" Adam melempar pertanyaan itu usai Senja melepaskan tangannya yang sedari tadi berada dalam jangkauan gadis itu. Dia malah menggulung kaki celana olahraganya sebatas lutut untuk kemudian dicemplungkan ke kolam renang.

"Duduk sini!" titahnya melambaikan tangan. "Masih ada satu jam sebelum arahan. Gue mau ngerasain air kolam Satya Darma tuh kayak mana. Di Sriwijaya nggak ada kolam renangnya." Dia mengoceh kemudian.

Tidak ada raut sedih yang dilihat Adam dua hari lalu. Tidak ada ekspresi terluka padahal Adam tahu bahwa Tuhan sudah sangat banyak membercandai hidupnya.

Adam tidak mencurigai apapun. Namun, sesuatu dalam hatinya berdetak tidak nyaman. Gadis itu seperti orang lain, seperti mengambang di matanya. Tidak jelas, tidak bisa tergapai satupun indranya untuk mengetahui perasaan gadis itu sekarang.

Namun, Adam tetap menurut. Dia ikut menggulung kaki celana, menyemplungkannya ke kolam dengan gerakan teratur. Riakan airnya yang tenang malah membuat jantung Adam berpacu kencang.

"Dam?"

Adam menoleh, terlalu cepat. Menatap figur sahabatnya yang juga sama menatapnya. Mata gadis itu memancarkan sesuatu yang tak bisa dibaca Adam. Sesuatu yang malah memaku Adam lebih lama untuk menatapnya.

"Lo beneran sayang sama gue, 'kan?"

Ditohok pertanyaan seperti itu tentu tidak pernah diduga laki-laki berambut ikal itu. Tenggorokannya terasa tersangkut sesuatu. "Iya," jawabnya dengan suara pelan. Perasaannya semakin tidak enak. "Gue sayang sama lo."

"Kalau gitu, lo mau dong, bantuin gue untuk dua hal?"

"Bantuin apa?"

"Janji dulu, kalo lo bakal bantuin gue. Cuma dua, kok."

Entah sadar atau tidak, Adam menghembuskan nafas gusar dalam takaran besar. Semakin jauh, semakin tenggelam ke dalam manik hitam kelam itu, perasaan Adam semakin dibuat tidak karuan.

"Janji." Dengan mengarahkan kelingking, apapun itu, Adam berjanji tidak akan mengingkarinya.

"Good!" Gadis itu menepuk puncak kepalanya, meski itu harus membuatnya mendongak. "Tapi sebelum itu, gue mau ngungkapin perasaan gue dulu."

Jantung Adam semakin berdetak gila. Dia tidak yakin jika Senja menyukainya secepat itu, atau malah jatuh cinta secepat itu. Ditelannya saliva yang terasa sangat pahit.

"Gue juga sayang sama lo, Dam. Sayang banget." Pengakuan itu tak menghentikan laju detakan jantung Adam. Apalagi setelah Senja menjelaskan detail rasa sayangnya padanya. "Tapi, sayang gue ke lo tu sayang sebagai sahabat. Kalo Abi kenapa-napa, gue bakal khawatir. Lo juga gitu, lo kenapa-napa, gue bakal khawatir.

"Rasa sayang gue ke kalian, sebagai sahabat, itu porsinya sama. Bedanya, Abi udah ngambil hati gue, Dam. Dia jadi sasaran jatuh cinta gue yang sembarangan. Tapi, kalau perihal sayang, gue sayang kalian berdua, kok."

"Tahu, kok," balas Adam. Bibirnya mendadak kaku untuk digerakkan. Meski sudah mengetahui kenyataan itu, tetap saja hatinya terasa patah ketika mendengarnya langsung dari Senja.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang