Sore Tanpa Senja 35

52 9 2
                                    

"Nih, kopi lo." Dendi meletakkan segelas kopi yang masih mengepul tepat di hadapan Elang, tanpa diminta.

Namun, alih-alih menjawab, pria yang tak lagi bicara setelah mengungkapkan dua kalimat itu malah mengajukan pertanyaan lain. "Sekarang Senja lagi ngapain, ya, Den?"

Dendi menghembuskan nafasnya panjang. Sosok Elang benar-benar hilang setelah Senja menghilang. Elang tidak lagi berteriak minta buatkan kopi, tidak mengomeli tukang parkir yang biasa minum kopi di sebelahnya, atau hanya merutuki takdir yang tidak pernah berbaik hati padanya.

Elang yang sekarang berada di depan Dendi seperti Elang yang lain.

"Den, anak gue sakit ternyata, kelainan jantung. Tha bawa dia, tapi gue gak tahu ke mana." Saat Elang mengatakannya tadi, Dendi yakin ada sesuatu yang buruk. Namun, melihat betapa kacaunya Elang saat ini, Dendi menahan segala penasarannya untuk bertanya lebih detail tentang Senja.

"Ini tuh kopi spesial loh, Lang. Temen gue yang bawain dari Gayo. Biasanya kan kalau ada menu-menu baru di kedai gue, lo yang paling gercep buat nyobain," ujar Dendi.

"Dokter itu bilang, Senja harus dioperasi, Den. Udah selesai belum, ya, operasinya?"

Dendi menyerah. Usahanya untuk mengembalikan jiwa Elang nyatanya tidak semudah yang dia bayangkan. "Lang--"

"Gue ... gue harus ngapain, ya, Den?" Elang bergumam. Tatapannya menerawang jauh. "Mau ketemu Senja, gue gak bisa. Mau bilang ke dia kalau semua bakal baik-baik aja juga gue gak bisa."

"Lang, lo masih punya Tuhan," sahut Dendi. Sedetik kemudian, Dendi merutuki perkataannya. Elang bukannya tidak percaya akan adanya Tuhan. Elang percaya, hanya saja, dia kecewa.

Buktinya saat ini, Elang bahkan tak ingin repot-repot menyahuti ucapan Dendi. "Gue ngerasa ... apa ya, Den? Gue gak tahu bilangnya gimana. Tapi di sini," Elang menunjuk ke dadanya, "sakit banget, Den. Sakit banget. Gue kayak ... balik ke masa itu."

"Masa apa?"

"Waktu gue ...." seteter air matanya luruh. Kesakitan yang dipendam Elang bertahun-tahun kini kembali mencabik-cabik perasaannya hingga tak bersisa. "Waktu gue beliin Senja sepatu bayi warna putih, gue seneng banget Den. Gue ... gue gak sabar nyambut anak gue. Gue gak sabar bawa Tha sama Senja hidup bareng gue. Gue gak sabar ... duduk sama Tha sambil liatin Senja belajar jalan.

"Tapi gue malah dikasi surat gugatan cerai, Den. Sore itu, gue bawa Senja pulang. Sendirian. Jalan kaki. Gue ... gue nangis di jalan, Den."

Tangisan Elang berubah pilu. Hartanya, satu-satunya di dunia yang dia punya, sekarang tak lagi bisa dia genggam karena keegoisan mantan istrinya.

Elang ingat betul hari itu. Sore itu tak ada yang lebih menyakiti Elang selain harga dirinya yang dijatuhkan hingga tak bersisa oleh orang tua Dia. Tak hanya memintanya menceraikan Dia, kedua orang tua wanita itu juga memintanya membawa bayi kecil mereka sejauh-jauhnya dan jangan pernah izinkan bertemu ibu kandungnya.

Bahkan Elang ingat, apa yang dikatakannya pada bayi perempuan itu di jalan. "Senja. Anak ini gue kasih nama Senja. Biar dia terus ngingetin gue soal Ibunya yang jahat, soal kakeknya yang kayak setan. Gak apa-apa, Senja. Gak apa-apa kamu gak punya Ibu. Yang penting kamu masih punya Ayah, yang walaupun brengsek kayak gini, tapi masih punya hati.

"Kita pulang. Anggap aja ini hari kematian Ibu kamu. Kamu gak punya Ibu. Ibu kamu meninggal hari ini."

Dendi mengusap-usap punggung Elang yang bergetar menahan isak tangisnya. Tersedu-sedu, pria itu menyebut nama Senja. "Anak gue, Den. Anak gue. Tha ngambil anak gue ... padahal dulu ... dulu dia bahkan gak mau ngeliat anak gue."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang