Sore Tanpa Senja 33

76 10 2
                                    

Riuh rendak antara tepuk tangan dan suara penonton, acungan jempol Adam dan senyum lebar ibunya yang terlihat samar dari jauh adalah 3 hal pertama yang dapat ditangkap Senja usai lompatan di babak semi final yang membuat detakan jantungnya menggila.

Dengan hasil ketinggian seratus tiga puluh delapan sentimeter, Senja cukup yakin bisa melewati babak ini.

Semoga.

Berlalu pelan dari lintasan, Senja lantas mengambil tempat duduk agak jauh dari lapangan lompat tinggi. Berusaha mengatur ritme nafas yang mulai tidak sehat sejak lompatan pertamanya tadi. Untung saja hanya nafasnya yang mendadak melambat, segala kekuatannya masih utuh.

Usai merasa pernafasannya lebih baik, Senja lantas mengedarkan pandangan menyusuri tiap sudut gedung olahraga SMA Satya Darma. Ibunya tetap di sana, senantiasa mengawasinya dari jarak jauh. Di sampingnya ada Maryam yang tampak mengobrol dengan orang tak dikenal. Mungkin kenalan baru gadis itu.

Yang tidak ada hanya ayahnya.

Dua babak terlewati, pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal dia sudah berjanji akan datang. Dia akan menyaksikan Senja menyabet juara dan mengangkat tropinya tinggi-tinggi.

Dibanding ketidakhadiran Abi, tidak ada ayahnya di sana ternyata lebih mematahkan hatinya.

"Keren banget! Gila!"

Senja tertawa pelan. Tanpa menoleh pun dia mengenali itu suara sahabatnya, Adam. Laki-laki itu duduk di sampingnya, menyodorkannya sebotol air mineral.

Meski bertanding di waktu yang sama dengan lapangan yang berbeda, Adam tetap menyempatkan waktu mendatanginya dan mendukungnya. Selalu. Seperti waktu-waktu sebelumnya.

Sayangnya, kehadiran Adam tetap tidak menghibur sendu yang menyayat hatinya. Ayahnya. Senja hanya butuh satu orang itu sebagai kekuatan terakhir di sisa-sisa tenaganya yang menipis.

"Kenapa?" tanya Adam. Laki-laki itu mendekatkan duduk dan menatap wajahnya lamat.

"Ayah," lirihnya. Melegakan tenggorokan dengan air mineral pemberian Adam. "Ayah nggak datang, Dam."

"Bentar lagi pasti datang, kok. Tenang aja. Gue percaya sama om Elang."

Senja juga. Malah melebihi kepercayaan Adam terhadapnya. Tetapi, nyatanya pria itu tidak ada di sana. Berkali-kali Senja mencoba melebarkan senyum dan membesarkan hati. Namun, akhirnya ketakutannya mengalahkan semua usahanya.

"Apa orang di pasar lagi rame, ya, Dam? Makanya ayah telat." Senja berasumsi sendiri. Lebih tepatnya meyakinkan diri sendiri.

"Bisa jadi. Tapi om Elang pasti datang, kok. Masih ada satu babak lagi, 'kan? Ngeliat fostbury flop lo yang mengagumkan tadi, gue yakin om Elang masih punya kesempatan datang."

Semoga saja begitu. Babak terakhir diadakan pukul empat. Dan Senja berharap kesempatan dua jam itu digunakan ayahnya dengan sangat baik.

***

Lima belas menit berselang setelah waktu istirahat, pak Azmi pelatihnya menghampiri Senja yang duduk di pinggir lapangan bersama Adam. Sebotol air mineralnya sudah tandas, namun Senja merasa haus kembali.

"Ada apa, Pak?" tanya Senja. Tidak merepotkan diri untuk bangkit karena dia tahu pelatihnya itu akan ikut duduk bersama mereka.

"Babak final dipercepat," jawab pria bertubuh tegap tinggi itu. Sontak mendaratkan tubuh di samping Adam dengan wajah tertekuk kesal.

"Kenapa bisa begitu, Pak? Bukannya babak final lompat jauh lebih dulu, ya?" Adam menyuarakan pertanyaan yang sama dengan yang ada di kepala Senja.

"Ada perubahan jadwal dari panitianya. Pelaksanaan babak final lompat jauh dan lompat tinggi diadakan barengan. Kalian berdua siap-siap, ya! Empat puluh lima menit lagi kita tanding."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang