Sore Tanpa Senja 37

48 4 0
                                    

Empat tahun lebih mengenal sosok Adam Chandra Argani, baru kali ini Abi melihatnya sehancur itu. Satu hal yang memukul telak hatinya adalah penyebab kehancuran perasaan Abi adalah sahabat kecilnya sendiri, Senja. Terkejut, tentu saja. Apalagi selama ini, Adam tampak sangat humble dan suka menggoda banyak cewek di sekolahnya.

Usai pergi dari taman, Abi duduk sendiri di selasar ruang UKS. Sendiri, tentu saja. Pikirannya berkecamuk. "Kenapa gue gak pernah tahu semua ini," gumamnya hampa. Pertanyaan-pertanyaan itu seolah menggedor isi kepalanya.

Mengapa dia tak pernah tahu perasaan Senja padanya? Mengapa dia tak pernah tahu jika di dalam persahabatan mereka terjadi ikatan perasaan yang cukup berliku? Dan bahkan mengapa dia tidak tahu jika sahabatnya dari kecil yang sudah menemani hari-hari sepinya, menderita banyak hal selama ini?

"Gue bodoh!" maki Abi, serta merta memukul kepalanya.

Remaja laki-laki berdarah Rusia itu lalu menengadah. Tatapannya terpancang lurus ke arah langit yang enggan ikut bersedih bersamanya. Cerah. Kilasan kenangan berputar tak henti di kepalanya.

Mulai saat Senja menghampirinya di taman waktu itu, hingga banyak waktu yang mereka lalui berdua. Waktu yang tak bisa dipungkiri, menjadikan Senja berharga di dalam hidup Abi.

"Lo bakal nabok gue kalau gue ngakuin ini, Senja," ujarnya. "Gue suka sama lo. Gue sayang sama lo. Lo ... the most precious."

Abi menelan ludah. Merasa sulit melanjutkan kalimatnya. "Sebagai sahabat, Senja. Lo berharga, lo punya tempat sendiri di hati gue, tapi sebagai sahabat. Lo ... lo bisa anggap gue brengsek. Itulah kenyataannya. Tapi gue harus apa? Gue gak mungkin memungkiri perasaan gue sendiri kan? Gak mungkin gue harus ngubah arah ke mana hati gus mau."

Sekali lagi, Abi menghela nafasnya. Tatapannya menerawang jauh, berkabut. "Apapun itu, lo tetap sahabat paling baik yang gak akan ada siapapun yang bisa nempatin posisi itu, Senja. Maaf. Maafin gue ... karena udah ngecewain lo.

"Gue ... gue bolehkah berharap lo pulang? Sama kayak Adam yang kayaknya cinta mati sama lo, gue juga punya banyak hal yang mau gue omongin, Senja."

***

Tangisnya sudah reda. Salah satu bilik toilet perempuan jadi tempat Maryam untuk mencurahkan sesak dan sakit di hatinya. Berkali-kali gadis itu menyalahkan diri. Barangkali, jika dia lebih berani mengatakan apa yang diidap Senja pada Ayahnya  hari ini tidak akan pernah terjadi.

Senja tidak akan pernah hilang.

Satu tetes air matanya jatuh lagi. Buru-buru, Maryam meninggalkan toilet dan berdiri di westafel paling. Sosok di dalam cermin yang ditemuinya tampak sangat kacau. Matanya merah dan sembab dengan bentuk jilbab yang sudah entah seperti apa.

Usai mencuci muka--yang tak berpengaruh apa-apa pada mata merahnya--Maryam meninggalkan toilet. Gadis berjilbab itu menuju musholla sekolah dengan satu tujuan, berdoa. Ya, memangnya siapa lagi yang bisa mengabulkan harap-harap dan pintanya selain Yang Kuasa?

Maryam sholat dhuha, dilanjut melangitkan doa untuk Senja. Untuk kali pertama, Maryam meminta banyak hal untuk seseorang yang bahkan baru dia kenal beberapa bulan lalu.

Kembalikan sahabatnya, dengan selamat, sehat, dan baik. Seperti kebahagiaan yang menghampirinya setelah kedatangan Senja, Maryam melangitkan kebahagiaan yang lebih darinya. Di akhir doanya, Maryam meminta dipertahankan seorang sahabat seperti Senja dalam hidupnya.

"Dari mana?" Pertanyaan mengejutkan itu didapatinya ketika akan kembali ke kelas. Tahu-tahu saja, Abi sudah berjalan di sebelahnya.

Maryam menyusut air mata dengan telunjuk, lalu memasang senyum lebar. "Dari musholla," jawabnya.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang