Sore Tanpa Senja 8

76 10 4
                                    

Pengakuan ayahnya tadi malam--yang membuatnya hampir tidak tidur hingga pukul setengah empat dini hari--membuat Senja tidak bisa tenang. Terbangun setelah menghabiskan waktu kurang dari dua jam untuk tidur, Senja mendapati di meja makan sudah tersaji dua bungkus nasi uduk.

Senja yakin, pasti ayahnya yang membeli itu pagi-pagi sekali. Niatnya untuk memasak sarapan sebelum berangkat sekolah pun, terpaksa pupus. Namun, bukan itu bagian mengejutkannya.

Bagian mengejutkannya ketika Senja mendapati ayahnya keluar kamar mandi dengan pakaian yang lebih rapi dari biasanya. Ayahnya memang masih mengenakan kaos polos dan jaket. Tetapi seingat Senja, kaos berwarna navy yang dikenakan ayahnya itu tidak pernah dipakai bekerja ke pasar. Juga jaket hitam yang hanya beberapa kali dilihat Senja dipakai ayahnya.

"Ayah mau kemana? Tumben rapi?" Dan Senja tidak mungkin diam saja tanpa memberondonginya dengan tanya.

Elang diam. Pria itu melewatinya begitu saja tanpa menoleh. Mengabaikan wajah resahnya yang terus mengikuti hingga ke ruang tengah. Bahkan hingga dia kembali ke dapur dan duduk menghadap nasi uduk yang dibelinya, Senja tetap setia mengikuti.

"Ayah mau kemana?" cecar Senja lagi. Kali ini dia tidak sabar. Entah sebab apa, Senja merasa cemas.

"Ke Bandung." Jawaban pendek ayahnya semakin membuatnya gusar. Ayahnya itu bahkan tak menatap ke arahnya.

"Ayah mau ngapain ke Bandung?"

"Ada urusan, Senja."

"Urusan apa? Gak biasanya Ayah rapi begini?" Senja terus memburunya dengan tanya. Ketakutan sialan itu tiba-tiba menghampirinya.

"Mau ketemu temen Om Dendi. Dia nawarin kerja."

Jelas itu bohong. Senja bukan lagi anak kelas 1 SD yang bisa termakan ucapan tak masuk akal seperti itu. Senja menggeleng. Dia yakin itu bohong. Mengenal ayahnya lebih dari lima belas tahun, tentu Senja tahu kalau pria itu paling enggan mencari pekerjaan baru. Akan aneh rasanya jika ayahnya dapat ilham dan ingin mencari pekerjaan yang lebih layak untuk mereka. Atau jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan perlakuan ayahnya tadi malam.

"Ayah bohong, 'kan? Ayah bukan mau nyari kerja." Senja membantah, tak percaya. Kekalutannya semakin menjadi ketika Elang menyelesaikan sarapannya dan berderap meninggalkan dapur.

"Ayah mau nyari kerja, Senja," jawab Elang. Kali ini dia menghentikan langkah, di dekat sofa tua runahnya. Ditumpukannya tangan di pundak Senja. "Ayah pulang lusa, kamu jaga diri baik-baik. Nggak usah khawatir. Ayah ... ayah nggak akan ninggalin kamu."

Rasanya Senja ingin menangis. Tentu saja Ayahnya tidak akan meninggalkannya. Jika sampai hal itu terjadi, Senja harus apa? Senja harus ke mana? Selain Elang, Senja tentu tidak memiliki tempat pulang lain.

"Kamu siap-siap ke sekolah sana! Jangan lupa sarapan! Udah Ayah beliin tadi." Elang sudah berbalik. Sudah memasang sepatu juga. Sebelum benar-benar pergi, dia berbalik. "Ayah pergi dulu. Hati-hati di rumah."

Diikuti Senja ayahnya hingga keluar dari pagar berkarat itu. Ini masih terlalu pagi, namun ayahnya sudah  dapat angkot. Selepas memandangi angkot yang membawa Ayahnya hingga hilang dari matanya, Senja masih belum beranjak. Masih berdiri di dekat pagar. Kecemasannya belum hilang, tidak bisa hilang.

"Tha itu siapa?" gumamnya. Ketimbang berpikir tentang siapa itu Thalia, otaknya malah merancang mimpi buruk. Mungkin saja, Thalia itu pacar ayahnya, dan sekarang ayahnya berniat menikah lagi.

Senja mengerjap lambat. Kesadaran menamparnya ketika mengingat perkataan ayahnya tadi malam--ketika dia berpura-pura tidur.

"Kamu mirip Tha."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang