Sore Tanpa Senja 2

139 13 0
                                    

Seharusnya dengan pahatan sempurna di wajahnya, Senja bisa sedikit tersenyum pagi ini. Namun, nyatanya lebih dari sulit. Rambut sebahunya yang dikuncir asal menyisakan anak rambut yang menjuntai dengan poni berantakan. Ditambah wajah kusut dan mata sembab, Senja terlihat lebih baik kalau diam di rumah.

Tatapan prihatin Abi tentu saja tak menjadi sesuatu yang perlu dipikirkannya. Asal sampai ke sekolah dan bisa mengikuti KBM dengan baik, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkannya.

Namun, helaan nafas Abi yang terlalu keras memaksanya menatap cowok itu juga. Senja mendongak, memejam ketika jari-jari Abi bererak merapukan rambutnya yang berantakan.

"Kayak gini lebih bagusan dikit. Muka gembel lo nggak terlalu keliatan," ujarnya.

Meski setengah perasaannya hancurnya tak terkira, Senja tetap memulas senyum tipis. Setidaknya di dekat Abi, dia merasa sedikit beruntung. Sebab dia masih memiliki seseorang yang setia berdiri di sampingnya.

"Makasih ... Bi," gumamnya.

"Udah ah! Entaran aja sedihnya-sedihnya. Sekarang kita berangkat, keburu telat," ujar Abi.

Anggukan Senja mengikuti langkah panjang Abi menuju motornya yang diparkir di luar pagar besi berkarat itu. Tak butuh waktu lama, dua menit setelahnya motor besar Abi sudah melaju di jalanan gang rumah Senja berada.

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk Abi dan Senja sampai di SMA Sriwijaya, salah satu SMA swasta yang cukup terkenal di Jakarta. Lima belas menit sebelum bel berbunyi keduanya sudah berada di kelas sepuluh IPS dua--kelas mereka. Kelas sepuluh IPS dua berada di lantai dasar SMA Sriwijaya. Koridornya sudah lumayan ramai ketika Senja dan Abi melaluinya.

Senja mengipasi wajahnya dengan buku tulis setelah duduk di kursinya. Diajak lari dari parkiran sampai kelas--kata Abi tujuannya agar Senja tidak terlalu memikirkan  ayahnya--rupanya menguras tenaga berlebihan. Senja sampai sesak nafas rasanya.

"Turun yuk! Biar nggak telat upacara," ajak Abi setelah lima menit duduk.

Senja menatapnya sengit. Sudah mengajaknya lari-lari seperti orang gila, sekarang malah mengajaknya kembali ke lapangan. Memangnya dia Shiva? Salah satu kartun yang sering ditonton anak tetangga sebelah rumahnya itu?

"Gue nafas dulu kali," ketus Senja.

Cowok berkacamata itu terkekeh geli. "Lemah! Segitu aja lo udah nyerah. Katanya atlet lompat tinggi, jago olahraga, tapi ginian doang udah capek."

"Atlet juga manusia kalo lo belum tahu. Percuma pinter kalo itu aja lo nggak tahu," cibirnya. Masih enggan beranjak dari kursinya.

Abi hanya tertawa menanggapi. Selagi menunggu Senja, dia berkeliaran tak jelas di kelas. Mencoret-coret papan tulis, lalu menghapusnya lagi. Harus Senja akui, Abi itu manusia berotak cerdas yang paling kurang kerjaan di dunia.

Bel berbunyi nyaring tak lama setelahnya. Abi segera menghentikan kegiatannya dan berlalu lebih dulu ke luar kelas. Setelah mengambil topinya di dalam tas, Senja pun turut beranjak mengikuti teman-temannya yang lain. Tangannya lantas ditarik begitu dia keluar kelas.

"Lama banget sih, lo. Cuman ngambil topi juga."

Kesal, Senja menginjak kakinya. Entah darimana Abi mendapat sifat otoriter ini. "Lo ngejar  apaan, sih, di lapangan. Upacara juga nggak akan langsung mulai begitu bel bunyi."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang