Sore Tanpa Senja 16

71 9 6
                                    

Begitu bel pulang berbunyi, Maryam buru-buru meninggalkan Senja. Sahabatnya itu bahkan hanya berpamitan sekedarnya, dan langsung ke luar kelas. Seharusnya Senja bisa biasa-biasa saja. Sayangnya alasan Maryam yang buru-buru pulang karena ingin pergi bersama Abi, sedikit banyak telah melukai perasaan Senja.

Gadis yang hari ini menggerai lepas rambutnya itu ke luar kelas dengan langkah lesu. Abi sudah meninggalkannya, pun dengan Adam yang buru-buru mengikuti Abi tadi. Entahlah, Senja semakin lelah rasanya.

Langkah kakinya baru berhenti di dekat tangga menuju lantai dua. Koridor yang sudah menyepi membuatnya mudah menemukan dua orang yang tengah berdiri di samping tangga. Terlibat percakapan yang entah apa.

"Kalian ngapain?" tanyanya. Dia menatap Abi dan Adam dengan penuh selidik.

"Urusan cowok." Adam yang menjawab. Cowok ikal itu merangkulnya dengan alis dinaik-turunkan. "Lo pulang bareng gue, ya?"

"Emang Abi mau ke mana?"

"Ke perpustakaan umum bareng Maryam."

Senja bungkam. Niatnya yang ingin mengajak Abi jalan-jalan sore ini terpaksa dikubur dalam-dalam.

"Lo nggak pa-pa 'kan, pulang bareng Adam?" tanya Abi. Pandangan sahabatnya itu belum lepas dari ponsel, yang entah kenapa membuat Senja merasa jengah.

"Nggak pa-pa. Udah biasa juga," sahutnya datar.

Setelah itu, Abi lantas mengantongi ponselnya dan menepuk pundak Adam sekali. "Kalau gitu gue duluan, ya! Nitip Senja ya, Dam," ujarnya kemudian.

Senja mengepalkan tangannya. Lagi dan lagi perasaan tak terima yang melukai hatinya kembali terasa. Meskipun sudah berusaha mencoba mengenyahkannya, tetap saja Senja selalu gagal.

"Sakit, ya?" Kepalan tangannya dilepaskan. Adam bertanya sembari menggenggam tangannya.

Seumur hidupnya, Senja selalu membenci tatapan seperti yang diberikan Adam padanya. Mengasihani. Karena sekalipun harus berdarah-darah, Senja tidak pernah ingin terlihat lemah. Sayangnya masih ada beberapa orang yang bisa melihat luka di matanya--meskipun sudah dia sembunyikan dengan rapi.

Dulu saat usianya masih balita, banyak sekali orang-orang yang menatapnya dengan tatapan semacam tatapan Adam padanya saat ini. Orang-orang itu mengasihaninya karena Senja tidak punya ibu, dan ayahnya tidak terlalu memperhatikannya.

Namun, saat itu Senja tak merasa bahwa harga dirinya terluka ditatap dengan tatapan seperti itu. Yang Senja rasa hanya perasaan tidak suka karena semua orang menganggapnya patut dikasihani.

Tatapan Senja menyendu. Menatap tangannya yang digenggam Adam dengan perasaan sakit. Andai yang menggenggam tangannya dan menguatkannya saat ini adalah Abi, mungkin Senja tidak akan merasa terluka lebih parah lagi.

Tetapi, pada kenyataannya Adam-lah yang selalu bersamanya di saat-saat terluka. Cowok itulah yang selalu melihat lukanya dan mencoba menyembuhkannya.

"Iya, sakit," lirih Senja. "Sakit banget ternyata."

***

Terhitung sudah satu jam Senja duduk di tribun sejak dia membatalkan untuk pulang, dan meminta Adam menemaninya di gedung olahraga yang sore ini sepi. Tidak ada yang menjadi perhatian Senja selain Adam yang sudah berkali-kali memasukkan bola basket ke dalam ring.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang