Sore Tanpa Senja 13

72 7 13
                                    

Biasanya selesai latihan, Senja tidak pernah lantas pulang. Menghabiskan waktu hingga lewat sore dan matahari sudah benar-benar berpulang di gedung olahraga sekolahnya, layaknya syurga. Di mana Senja tidak akan terganggu oleh apapun. Termasuk menemani ayahnya menyaksikan matahari terbenam.

Namun, tidak berlaku bagi hari ini. Euforia yang meluap-luap di dadanya, membuatnya ingin pulang lebih cepat. Bahkan, Senja mendahului anak-anak atketik lain dan menyeret Adam untuk mengantarnya pulang. Segera.

Hal itu tentu saja dipicu oleh sebuah pesan singkat yang dikirim Abi beberapa menit setelah waktu istirahat tadi. Isinya meminta Senja agar pulang cepat. Sahabat bulenya itu ingin mengajaknya jalan-jalan.

Jangan tanya bagaimana bahagianya Senja. Seolah jalan-jalan yang dimaksud Abi adalah kebahagiaan yang tidak ada bandingannya. Tetapi, mau bagaimana lagi? Senja tidak bisa menahan letupan kebahagiaan di dadanya karena Senja sudah sangat merindukan waktu yang biasanya mereka habiskan berdua.

Melihat motor Abi yang sudah terpakrkir di halaman rumahnya--di samping vesap tua ayahnya--membuat Senja menuruni motor Adam dengan riang. Dia bahkan berterimakasih secara berlebihan dan melambai riang pada Adam. Entah Adam akan menyadari perubahan sikapnya itu atau tidak, Senja tidak ingin peduli dulu saat ini.

"Nah, tuh orangnya pulang!"

Senja menoleh, tatkala suara ayahnya menyapa indera pendengarannya. Segera dilepaskannya sepatu dan masuk rumah setelah mengucap salam terlebih dahulu.

"Langsung mandi sana! Katanya kalian mau pergi."

Tergagap, Senja menyahuti ayahnya dengan gugup. Alasan kegugupannya tentu saja bukan Erlangga. Melainkan sosok cowok bertubuh jangkung berkacamata yang tengah mengerling dengan senyum simpul, berdiri di belakang ayahnya. Sialan jantungnya!

Dipercepat Senja langkahnya menuju kamar. Ini sudah hampir maghrib. Setelah selesai mandi--yang membuatnya mau tak mau harus menghadapi Elang dan Abi--dan sholat maghrib, Senja segera bersiap pergi.

Seperti biasa pula, Senja adalah tipikal gadis serba sederhana. Diajak jalan oleh anak dari keluarga Demyan tak membuatnya lantas tampil bak seorang putri. Lagipula siapa yang peduli penampilan? Abi menerimanya sebagai sahabat tidak berdasarkan apapun.

"Kita mau kemana?" tanya Senja begitu motor Abi sudah keluar dari gang rumahnya.

"Ngukur luas Jakarta."

Senja tergelak. Mendorong belakang kepala Abi yang ditutupi helm dengan semena-mena. Tentu saja Senja tidak merasa bersalah.

"Perasaan dimana-mana gue jadi korban kekerasan lo mulu deh, Senja. Gue turunin di jalan mau?" Abi menggerutu dengan suara samar.

"Turunin gih kalo berani!" tantangnya balik.

Sepanjang perjalanan diisi oleh candaan tak penting hingga mereka sampai di sebuah mall besar di Jakarta. Senja merindukan momen-momen seperti ini. Di mana dia dan Abi seolah dua manusia yang lupa segala hal hanya untuk mengukir sebuah kebahagiaan kecil.

Jantungnya mulai tidak normal ketika Abi meletakkan tangannya dalam genggaman tangan cowok itu saat memasuki mall--jujur, tak disukainya. Semoga saja wajahnya tidak tiba-tiba  memerah.

"Tau gini mending gue nggak usah pergi," decaknya, kesal karena dari tadi Abi hanya mengajaknya berputar-putar di mall yang ramai malam ini. "Ngapain sih kesini? Mentang-mentang lo orang kaya gitu? Mending lo ngajakin gue ke mana kek, asal jangan ke sini. Bosen gue."

Mendongak, Senja menatap Abi untuk menyaksikan senyum kecil cowok itu menanggapinya. "Baru juga sampai, udah mau pulang aja."

Decakan kesal Senja terdengar lagi. Apalagi ketika salah satu pengunjung mall menyenggol bahunya tanpa sengaja, dan pergi begitu saja tanpa meminta maaf. "Ini orang-orang pada nggak ngeliat gue apa gimana, sih? Perasaan udah berkali-kali gue disenggol mulu."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang