Sore Tanpa Senja 27

66 8 2
                                    

Ada satu kesalahan besar yang Elang lakukan sebelum memberi Thalita Dia Putri kesempatan untuk masuk ke dalam hidupnya. Yaitu, Elang lupa mencari tahu siapa sebenarnya Dia. Elang hanya tahu jika Dia adalah murid pindahan di kelas sebelas yang tinggal dengan bibinya di Jakarta. Kebetulan orang tuanya adalah seorang pengusaha di Kalimantan.

Seharusnya, Elang mencari tahu lebih jauh siapa orang tua gadis berwajah polos dengan banyak pertanyaan itu. Orang tuanya tak hanya seorang pengusaha di Kalimantan. Dimas Prawira adalah pengusaha dengan relasi yang menyebar hampir ke seluruh Indonesia.

Satu lagi, Elang juga lupa jika Dimas Prawira memperlakukan putrinya bak seorang putri raja. Putri dari pengusaha terkenal--yang bahkan sudah mempersiapkan masa depan putrinya dengan baik--tidak layak menerima apa yang terjadi pada Dia saat itu.

Kemarahan Dimas hari itu membawa keputusan baru yang ditolak Dia dengan air mata. Demi kelangsungan masa depan Dia, Dimas memintanya untuk menggugurkan bayi itu. Elang sama hancurnya, membayangkan bayi kecil yang diharapkannya dan juga Dia harus pergi karena keegoisan Dimas.

Sakit di hatinyalah yang memberanikan Elang kemudian. Elang mengutarakan niatnya, berjanji dengan sungguh-sungguh jika Dia akan bahagia bersamanya.

Dimas setuju. Hanya saja, pernikahan yang akhirnya digelar tanpa tamu dan acara apapun itu hanya sebatas formalitas demi kebahagiaan Dia dan demi nama baiknya. Pernikahan yang disumpahi Elang itu hanya akan bertahan sampai bayi mereka lahir.

Dimas setuju hanya agar putrinya tidak bertindak nekat yang tak hanya bisa menghilangkan bayinya, namun juga Dia. Sampai di titik itu, Elang tak hanya merasa dipermainkan, namun juga sangat direndahkan.

Karena Dimas juga melarang Elang membawa Dia ke rumahnya, terpaksa--dengan perasaan tidak rela--Elang mau tinggal di rumah Ina. Itupun dengan wanita itu yang mengungsikan diri sebelumnya.

Sehina itu Elang. Sesakit itu perasaannya. Elang bahkan sampai buta untuk membaca apa sebenarnya makna pernikahan yang disetujui Dimas. Apa gunanya menikah jika akhirnya nanti, Dimas akan meminta mereka berpisah dan menjauhkan Dia darinya.

"Semua ini nggak ada gunanya, Kak Elang. Pernikahan ini, bayi ini, aku nggak tahu apa gunanya." Maka Elang juga tak heran ketika kalimat itu meluncur dari mulut Dia di suatu sore. Elang sama tak tahunya apa guna semua itu.

"Jangan menyerah, Tha. Tolong, jangan menyerah," pinta Elang. "Aku juga menyayanginya. Kita udah mengorbankan banyak hal untuk ini, 'kan?"

"Tapi, ini percuma, Kak Elang! Ini percuma!"

"Demi bayi itu, Tha."

"Lalu, setelah dia lahir kita bisa apa? Kak Elang emang yakin pernikahan ini bisa bertahan? Dan bayi ini akan kita rawat sama-sama? Nggak, Kak, nggak! Papa bukan orang yang semudah itu."

"Tapi kita udah janji, Tha. Kamu udah janji."

Entah emosi Dia yang saat itu memang tidak terkontrol, atau apa. Namun, sejak itu Dia tampak lebih malas membahas apapun mengenai bayi dalam perutnya. Perasaan muramnya berlanjut hingga berhari-hari.

Hingga puncaknya pada hari itu. Tanggal 27 Maret di tahun 2003. Dia melahirkan bayi yang berhasil mereka pertahankan. Sayangnya, Elang tidak melihat binar bahagia di mata Dia hari itu.

***

Seumur hidup, tidak pernah Elang sesemangat hari itu menyambut hari. Seperti ada yang meletup-letup dalam dadanya yang membuatnya tak berhenti tersenyum sepanjang pagi. Rasanya bahagia, lega, terharu, namun juga bercampur kekhawatiran.

Elang ingat sekali pagi bersejarah itu. Ketika dia cepat-cepat dari rumah Ina menuju rumah sakit dengan bawaan berisi sepatu bayi yang dia beli kemarin sore--sepulang melihat putri kecilnya. Kebahagiaan Elang meluap-luap melihat sepatu bayi yang harganya bahkan tak sampai seratus ribu itu.

Sayangnya, hal yang diterimanya di rumah sakit bukanlah sesuatu yang diharapkannya--sesuatu yang dipikirnya juga tidak diharapkan Dia. Ketika dia datang, ruang rawat Dia dipenuhi anggota keluarga istrinya itu. Dia sendiri tengah menggendong bayi yang lahir kemarin itu.

Namun, bukan di situ hal mengejutkannya. Dia menyerahkan bayi itu pada Elang tepat sesaat setelah dia masuk. Dengan pandangan berkabut dan bingung, Elang sempat bertanya, "ada apa?"

"Bawa bayi itu, Kak Elang! Bawa dia sejauh-jauhnya dari aku! Aku nggak menerima kehadirannya. Aku sama sekali nggak mengharapkannya."

Seperti ada sesuatu yang memukul hati Elang keras-keras hari itu. Tubuhnya lemas, namun pegangannya mengerat pada bayi dalam gendongannya. "Apa maksudnya, Tha?"

"Bawa dia bersama Kak Elang. Aku nggak mau melihatnya lagi."

Elang masih mencoba menyangkal, mempertahankan ucapan Dia berbulan-bulan yang lalu. "Tha, kita bakal rawat dia, 'kan?"

"Nggak! Cuma Kak Elang yang akan merawat dia. Atau kalau Kak Elang keberatan, Kak Elang bisa titipin anak itu ke panti asuhan. Kak Elang masih muda, dan anak itu pasti bakal banyak merepotkan Kak Elang."

"Apa maksudnya, sih, Tha? Kenapa kamu nyerah secepat ini?"

Suara Dia naik beberapa oktaf. Dia memandang Elang dengan tatapan kemarahan sekaligus terluka. "Menyerah dari apa? Aku nggak menginginkan anak itu, dan bukannya itu udah cukup jelas? Dari awal aku memang nggak pernah menginginkan bayi itu. Dia merusak mimpi-mimpiku dan menghancurkan masa remajaku, Kak Elang."

"Tapi, Tha ...."

"Aku cuma nggak mau jadi pembunuh dengan menggugurkannya. Dan setelah dia lahir, aku nggak mau ketemu dia lagi. Tolong, bawa anak itu jauh-jauh dariku!"

Tenggorokan Elang tercekat. Nafasnya memburu dan luka di hatinya bertambah dalam. Meskipun begitu, Elang masih berusaha mempertahankan sesuatu yang dirasanya benar.

"Kamu nggak boleh begini, Tha, bayi ini butuh ibunya."

"Tapi aku nggak mau anak itu. Dia cuma hasil dari kebodohan kita."

Kebodohan? Tatapan Elang mengeras, rahangnya mengatup dengan letupan kemarahan yang besar dalam dadanya. "Kebodohan kamu bilang?" desisnya.

"Iya, dia cuma kebodohan kita. Tolong Kak Elang ngertiin ini, aku masih mau melanjutkan hidupku. Aku mau ngejar cita-citaku. Pernikahan dan bayi itu cuma akan jadi penghambat."

Di detik itulah, Elang merasa harapan memang benar-benar tidak ada untuknya. Tuhan tidak pernah mau berbaik hati meski sedikitpun padanya.

Elang pergi dengan perasaan terluka pagi itu. Matanya memerah, namun air mata bahkan enggan jatuh untuk mengurangi sesak yang bergumul di dadanya.

Dia bilang, pernikahan dan bayi mereka adalah penghambat mimpi-mimpinya. Lalu, apa kabar dengan Elang yang rela menggadaikan seluruh impian dan rencana hidupnya demi mereka?

Hari itu menjadi hari terakhir Elang bertemu Dia. Seminggu setelahnya, dia mendengar kabar bahwa mantan istrinya sudah pindah ke luar negeri. Elang tidak tahu untuk apa, juga tidak ingin peduli. Seperti Dia yang menganggapnya dan bayi mereka sebagai kebodohan, maka hari itu, Elang juga menganggap Dia sebagai kekasih lamanya yang sudah mati.

Thalita Putri Dia telah mati sejak hari itu.

***

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang