Sore Tanpa Senja 3

112 12 0
                                    

Kebisingan suara kendaraan meningkat di jam-jam menjelang matahari tenggelam seperti saat ini. Bau-bau kelelahan seolah tercium begitu dekat. Jakarta tak ubahnya perut bumi yang menumpah-ruahkan isi-isinya.

Elang salah satunya. Namun, pria dengan tubuh tegap tinggi itu tak kunjung pulang sejak setengah jam yang lalu dia selesai bekerja. Dia duduk di depan kedai kopi Dendi, meregangkan otot-ototnya yang terasa kebas. Tulang-tulangnya seperti ingin remuk akibat memikul barang-barang yang kelewat beratnya.

Pria itu mengumpat keras-keras ketika di tengah aksi meregangkan ototnya, kursi kayu yang didudukinya patah. Elang terjerembab. Sial. Memegangi pinggangnya, Elang bangkit. Tak lupa menendang kursi kayu itu kuat-kuat.

"Astaghfirullah! Kursi gue lo apain, Lang? Itu masih bisa didudukin bego!" pekik Dendi begitu mendapati kursi kayu di depan kedainya patah.

"Kursi sialan lo tuh yang udah nggak layak pakai. Beli yang bagusan dikit, kek."

Dendi tak menghiraukannya. Pria itu tampak sibuk memerhatikan kursi kayunya. Memerhatikan Dendi, Elang tergerak untuk bertanya, "mau kemana lo, Den? Masjid?"

Dendi yang tadinya berjongkok, kembali berdiri. Dirapikannya sarung yang dipakainya. "Ke mesjid, lah. Udah mau maghrib ini," jawabnya.

Elang mendengus. "Rajin banget lo."

"Pas sekolah dulu, lo sering bolos pas pelajaran agama kayaknya, Lang," cetus Dendi. "Sholat itu kewajiban, bukan tergantung rajin apa kagaknya. Bego lo dikurang-kurangin napa, Lang?"

"Halaah, gue juga tau." Elang mengibaskan tangannya. "Tapi Tuhan emang pilih kasih kalo samo gue. Lo sholat, rezeki lo baik-baik aja, keluarga lo baik-baik aja. Lah gue? Dua-duanya kagak ada yang bener."

"Itu karena emang lo-nya yang nggak bener," sahut Dendi. "Udah tua, Lang. Bentar lagi kiamat, mending lo cepat-cepat tobat."

Perkataan terakhir Dendi hanya ditanggapi dengusan tak peduli oleh Elang. Pria itu bahkan mengabaikan Dendi yang pamit pergi lebih dulu karena sebentar lagi maghrib tiba.

Entah kapan tepatnya Elang meninggalkan semua hal berbau agama. Entah sejak kehadiran Senja atau hal lainnya. Padahal sebelumnya Elang begitu dekat dengan Sang Pencipta. Namun, ya, waktu memang paling unggul dalam hal menciptakan perubahan. Lukanya membuat Elang berpaling. Mengambil langkah lain yang membebaskan dirinya.

Elang memasang jaket hitam lusuhnya. Sore ini dia terpaksa melewatkan pemandangan yang selama lima belas tahun terakhir ini menjadi bagian favoritnya. Meraup nafas secara berlebihan, Elang mulai menjalankan vespa tua yang dia beli sekitar empat tahun lalu itu.

Sepanjang perjalanan, kepalanya diisi pikiran berkecamuk mengenai Senja. Bagaimanapun kesalnya Elang pada Senja, gadis itu tetaplah anaknya. Tetaplah darah dagingnya. Elang tidak bisa untuk bersikap tidak peduli pada gadis lima belas tahun yang sudah dia rawat seorang diri sejak terlahir ke dunia.

Matahari semakin beranjak turun. Cahaya jingga memeluk langit Jakarta dengan lampu-lampu kendaraan sebagai pendampingnya. Suara adzan yang menggema hampir di setiap sudut kota memanggil hamba-hamba-Nya. Elang sendiri tak menghiraukan itu--suara adzan maupun kebisingan jalanan.

Sembari mengendari motor, mata elangnya sesekali beralih pada langit yang dihiasi semburat jingga. Ada yang terluka dalam diri Elang melihat pemandangan itu. Namun di sisi lain, semburat jingga juga  mengingatkannya bahwa dia masih memiliki alasan untuk hidup.

"Gue masih bisa ngerasain semuanya," gumamnya lirih, namun penuh penekanan. "Semuanya, Tha. Semua."

🌅🌅

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang