Sore Tanpa Senja 39

58 7 8
                                    

Di dalam mimpinya, Senja melihat seorang pria dengan kaos hitam lusuh yang duduk di sudut rumah sepetak dengan perabotan seadanya. Tampangnya kusut, rambutnya berantakan, dan ada kantung mata yang menggelap di bawah matanya. Dan Senja, mengenali pria itu sebagai Ayahnya.

"Dua minggu," kata ayahnya di dalam mimpi itu. "Ayah kangen kamu, Nak. Ayah kangen kamu. Ayah mau ketemu kamu."

Namun, Senja tidak melihat dirinya sendiri. Rumah itu sepi. Ayahnya semakin terlihat menyedihkan, dan tak ada yang menolongnya di saat-saat seperti itu.

"Tha bawa kamu ke mana, Senja? Dia ... dia bawa kamu ke mana sampai ... Ayah gak bisa nyari kamu." Ayahnya meraung lagi, lebih pedih dengan suara putus-putus karena isak tangis.

Ingin sekali Senja menjeritkan bahwa dirinya di sini. Di tempat yang dia sendiri tidak tahu di mana ini. Sayangnya, sudah lama sekali Senja kehilangan suaranya. Senja tidak bisa mengatakan di mana dia berada, Senja tidak bisa berlari ke arah ayahnya karena seluruh tubuhnya yang terasa tak berdaya. Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanyalah menangis tanpa suara.

Ayahnya yang dilihatnya di dalam mimpinya menangis semakin kencang. Pria itu terduduk sembari memukul-mukul dadanya. Dan Senja hanya bisa menyimpulkan satu hal bahwa ayahnya tengah marah. Ayahnya marah pada kesedihan yang saban waktu memeluknya, ayahnya marah pada keadaan yang tak pernah berpihak padanya, dan Ayahnya marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa.

Tak hanya Ayahnya, Senja juga melihat sosok lain dalam mimpi panjangnya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut ikal yang setiap sore menatap langit senja dari atap gedung. Kian hari, bukannya bersemangat, laki-laki itu seolah tak lagi memiliki selera hidup.

Adam, Senja mengenalinya.

Senja melihatnya datang menemui Ayahnya, membawakannya susu kotak dan roti, atau kadang-kadang makanan yang lebih berat. Senja juga melihatnya tertawa ketika berbagi obrolan entah apa dengan ayahnya.

Sayangnya, tidak ada yang melihat ketika laki-laki itu menekuk lutut di kamarnya, lalu tersedu. Terisak pelan menatap foto-foto di galeri ponselnya. Tidak ada yang tahu, bagaimana laki-laki itu sangat merindukannya dan selalu berdoa agar ia cepat kembali.

Dan lagi, Senja ingin mengatakan dirinya di sini. Di tempat asing di mana Senja hanya bisa melihat mimpi, namun tidak bisa membuka matanya atau sekadar menggerakkan jemarinya. Tentu saja, Senja tidak bisa memberitahunya.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanya menangis dalam diam. Senja merindukan mereka. Senja ingin memeluk mereka. Namun, suara yang selalu dia dengar setelah mimpi-mimpi panjang itu, bukanlah suara Ayahnya, bukan suara Adam, sahabatnya.

"Maafkan Mama, Senja. Maafkan Mama. Bahkan di dalam mimpi pun, kamu menderita karena Mama."

***

Setelah melalui operasi hingga hampir sepuluh jam, Thalita Putri Dia akhirnya mendapat kabar baik jika penebalan di otot jantung anaknya berhasil diangkat. Sayangnya, dokter mengatakan belum ada waktu pasti kapan Senja akan sadar dari masa kritisnya.

Dua minggu berlalu, tidak ada perubahan yang berarti. Senja belum juga bisa membuka mata atau sekadar menggerakkan jemarinya, meski jantungnya tetap berdetak normal. Senja hidup, namun seperti mati. Hal itulah yang menyiksa Dia akhir-akhir ini. Beruntung, di saat-saat seperti ini, suaminya bisa mengerti dan mengizinkannya menemani Senja.

Terbesit rasa sesal di hati Dia. Barangkali jika gadis itu di dekat Ayahnya, Senja bisa membuka mata lebih cepat. Sayangnya, keegoisan Dia membutakan matanya. Dia membawa Senja dengan tujuan menyelamatkan hidup anaknya sebagai bentuk penebusan dosanya di masalalu. Dia tidak tahu, perbuatannya malah membuat Senja semakin menderita karena tidak berada di dekat orang yang disayanginya.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang