Sore Tanpa Senja 11

66 8 1
                                    

"Obatnya jangan lupa kamu minum, ya."

Senja mengeratkan pegangannya pada plastik berisi obat yang baru dia terima. Sepulang sekolah dia dan Maryam langsung ke rumah sakit untuk cek up kesehatannya. Itulah alasan mengapa dia tidak hadir latihan hari ini.

"Senja," panggil Maryam karena pernyataannya sebelumnya tidak digubris. Mereka masih berada di lobi rumah sakit saat ini.

"Ah... apa, Mar?" tanyanya.

Maryam mengusap pundaknya prihatin. Senja mungkin terlihat kuat tanpa beban masalah apapun. Tetapi siapa yang tahu duka yang dia terima juga begitu dalam. "Gak papa, kok. Cuman ngingetin buat minum obatnya."

"Oh, iya. Obatnya gue minum, kok. Rajin malah," cengir Senja.

"Hmm... setelah ini kita mau kemana? Langsung pulang?" Maryam bertanya sembari mencari sesuatu dalam tasnya.

"Emang lo gak sholat? Udah jam setengah lima, nih."

Belum sempat mengeluarkan apa yang ingin diambilnya, Maryam segera tersadar dan melihat jam di pergelangan tangannya. "Astaghfirullah. Udah jam setengah lima ternyata. Kita ke masjid dulu gak pa-pa, Senja?"

"Ya gak papa, lah," jawab Senja. Kantung berisi obat tadi sudah dia masukkan ke dalam tas.

Keduanya pun berjalan keluar lobi. Hingga tiba-tiba saja Senja menghentikan langkahnya. Maryam menoleh, menatapnya dengan pandangan bertanya. "Ada apa?"

"Gue ... gue juga mau sholat, Mar."

Jawaban pendek itu tak hanya menggetarkan hati Senja. Tetapi juga menerbitkan senyum cerah di wajah Maryam. Membuat seseorang berubah jadi lebih baik bukan hal instan yang bisa terjadi secepat kedipan mata. Perlu proses panjang dan keinginan kuat dari orang tersebut. Dan ya, mungkin Maryam sudah menemukan salah satunya dari temannya ini.

Ah, tidak. Sepertinya gelar sahabar lebih baik disematkan untuk Senja daripada hanya sekedar teman. Bukankah arti sahabat terbaik adalah dia tak hanya menemani disaat kita tertawa, tapi juga disaat kita menangis dan terluka?

Dengan senang hati Maryam menggandeng lengan Senja. Awalnya Senja tampak terkejut, namun kemudian dia tertawa. Ternyata memiliki sahabat perempuan tak seburuk yang dia kira selama ini.

Masjid yang dituju Maryam dan Senja berada tak jauh dari rumah sakit. Mereka hanya perlu berjalan kaki sebentar untuk sampai ke masjid tersebut. Sebelum masuk ke masjid, Senja lagi-lagi menghentikan langkah Maryam. Dia menilik tampilan dirinya sendiri yang membuat Maryam cukup paham.

Dia tidak seperti Maryam yang tertutup. Rasa malu menyergap hatinya ketika menyadari dirinya hanya mengenakan rok pendek selutut--rok sekolahnya dan seragam lengan pendek. Bukan hanya itu, kepalanya pun tak bertudung apapun. "Gue boleh masuk?" tanyanya pelan.

"Allah itu Al-Ghaffar, Maha Pengampun. Sebanyak apapun dosa kita, jika kita meminta pengampunan dari-Nya dengan sungguh-sungguh, pasti dosa sebanyak buih di lautan pun akan diampuni." Maryam berujar sembari tersenyum meyakinkan. "Kamu tahu, Senja, Allah sangat menyukai orang yang bertaubat."

Namun, Senja masih ragu. "Gue malu, Mar," cicitnya pelan.

"Nggak apa-apa. Ayo!" Maryam mengaitkan tangannya di tangan Senja dan menuntun gadis itu untuk masuk.

Di mata orang lain, mungkin Maryam hanya gadis sok alim. Senja juga pernah berpikiran begitu saat peetama kali bertemu Maryam.  Namun, melihat Maryam yang sekarang di depannya, semua pandangannya tentang Maryam dahulu lenyap.

Maryam Sameera seperti magnet yang menarik orang-orang di sekitarnya. Caranya bicara, suaranya yang jernih, akhlaknya yang baik menjadi tatanan sempurna dalam hidupnya. Satu hal yang paling disukai Senja dari sosoknya adalah Maryam akan tetap mengulurkan tangannya meski tangannya yang lain terluka. Dia tak pernah memandang siapa orang yang ditolongnya.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang