Sore Tanpa Senja 9

59 9 5
                                    

Hujan deras yang terjadi sejak pukul empat sore tadi menahan Senja di rumah Maryam. Tugas geografi mereka sudah selesai sejak sejam yang lalu. Senja bahkan sempat terlelap sebentar sebelum Maryam membangunkannya dan mengajaknya makan.

Hingga hampir maghrib sekalipun, hujan belum juga berhenti. Senja sudah resah memandangi rintik-rintik air yang masih turun deras lewat jendela di kamar Maryam. Bagaimana dia bisa kalau begini?

"Senja?" Senja menoleh. Mendapati Maryam berdiri di belakangnya. Gadis berhijab itu baru saja selesai mandi. "Mending kamu mandi dulu gih! Hujannya awet banget kayaknya."

"Iya, bisa gak pulang gue kalau gini ceritanya," sahut Senja.

"Kamu nginep disini aja kalau gitu. Lagian besok 'kan, hari sabtu."

"Emm ... gimana, ya? Gue juga bingung, nih. Mana udah mau malam lagi."

Maryam menyela. "Nah, makanya kamu nginep di sini aja. Besok pagi aku anterin kamu pulang. Gimana?"

Setelah menimbang sekian menit, Senja akhirnya mengangguk setuju. Tidak apa-apa menginap di rumah temannya sesekali. Toh, di rumahnya juga tidak ada orang. "Ya, udah, gue nginep di sini aja," putusnya.

Senyum Maryam melebar. Dia lantas memberikan baju ganti pada Senja dan pamit untuk sholat maghrib. Sedangkan Senja langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kegiatan mandinya selesai sepuluh menit kemudian. Menunggu Maryam yang belum kembali, Senja duduk di karpet bulu di kamat.

Setelah mandi dan mengganti pakaiannya, Senja duduk di karpet depan tempat tidur Maryam. Dia mengamati tumpukan novel gadis itu. Ternyata sama sepertinya, Maryam juga gemar membaca novel. Bahkan, kalau dilihat-lihat, koleksi novel Maryam jauh lebih banyak dari miliknya.

Bicara soal rumah Maryam, sejak memasuki rumah ini, Senja belum melihat orang tua gadis itu. Rumah dua lantainya sangat sepi. Hanya ada satu asisten rumah tangga yang ditemuinya tadi.

Mungkin, orang tua Maryam sibuk bekerja, pikirnya.

Pandangan Senja terus menyapu sekeliling kamar Maryam  yang luas. Hingga pandangannya berhenti di sebuah pigura yang diletakkan di atas nakas. Foto keluarga Maryam sepertinya. Ada seorang pria, wanita yang anggun dengan hijabnya, lalu dua anak laki-laki serta seorang anak perempuan yang digendong Ayahnya. Sepertinya itu foto saat Ayya masih kecil.

"Itu keluargaku." Senja menoleh cepat. Mendapati Maryam tengah berdiri di samping tempat tidur. "Kayaknya foto itu diambil saat aku masih lima atau enam tahunan, deh. Udah lama banget," lanjutnya.

"Gue gak liat orang tua lo dari tadi," cetus Senja menumpahkan pertanyaan dalam kepalanya.

"Mereka udah meninggal waktu umurku sepuluh tahun. Kecelakaan mobil."

"Ah, maaf gue gak tau," ujar Senja pelan. Seketika dia merasa bersalah.

Maryam tersenyum tipis menanggapi. "Gak pa-pa, kok."

"Terus lo tinggal sama siapa sekarang?"

Mengambil pigura di nakas, Maryam ikut duduk bersamanya. Gadis berhijab itu menunjuk foto dua anak laki-laki dalam pigura. "Dengan mereka. Mereka kakak-kakakku. Kak Arkan dan Kak Azriel. Kak Arkan udah tamat kuliah, udah kerja juga sekarang. Kalau Kak Azriel masih kuliah. Rumahku emang biasa sepi gini, soalnya mereka sering pulang malam," jelas Maryam kemudian.

Senja mangut-mangut paham. Namun, dalam hatinya serasa ditampar. Maryam yang terlihat baik-baik saja, justru mengalami hal lebih menyedihkan darinya. Setiap kehilangan pasti meninggalkan bekas yang mendalam. Tidak mungkin Maryam sebaik yang terlihat setelah apa yang dia alami. Gadis itu pasti hanya menutupi kesedihannya. Begitu pikir Senja.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang