Sore Tanpa Senja 4

103 13 3
                                    

Seseorang yang ingin Senja temui bernama Rumi. Wanita separuh abad yang pernah tinggal di samping rumahnya dulu. Senja memanggilnya emak. Dua tahun belakangan ini, emak Rumi pindah rumah sebab suaminya meninggal. Masih di gang yang sama memang, namun tetap saja Senja merasa kehilangan waktu itu.

Di rumah barunya, emak Rumi tinggal sendirian. Wanita paruh baya itu membuka warung kecil-kecilan untuk menafkahi dirinya. Kalau saja ayahnya mengizinkan, Senja pasti sudah memboyong emak Rumi ke rumahnya ketika suaminya meninggal dulu. Sayangnya, Elang yang perhitungan tidak mungkin mengizinkan.

Ada  beberapa alasan mengapa Senja menyayangi emak selayaknya sayang seorang anak kepada ibunya. Saat masih kecil, Elang sering menitipkannya di rumah wanita itu kalau dia bekerja. Dibandingkan ayahnya, Senja mengingat emaklah yang lebih banyak mengurusinya waktu kecil.

"Assalamu'alaikum, Mak," sapa Senja. Senyumnya mengembang melihat wanita paruh baya yang sedang memberesi warungnya itu.

Emak Rumi menoleh, langsung tersenyum hangat melihat Senja. Dia bahkan meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Senja. "Anak Emak dateng," ujarnya. "Tumben kesininya agak sorean. Biasanya pulang sekolah langsung kesini."

"Iya, Mak. Tadi Senja pulang dulu ke rumah."

"Kamu udah makan?"

"Keliatan banget, ya, kalau aku ke sini mau minta makan?" kekehnya.

Emak Rumi memukul pelan lengannya. "Ck, kamu kayak sama siapa aja. Udah makan belum? Biar Emak siapin makan. Ayahmu pasti belum pulang, 'kan?"

Meskipun tebakan emak benar, Senja tetap menolak dengan sopan. Separuh roti yang dimakannya tadi sudah cukup mengganjal perut. "Masih kenyang, Mak. Aku makan roti tadi."

"Roti aja mana cukup buat ngisi perut. Makan lagi, ya? Kamu tuh makin hari makin kurus loh emak liat."

Senja tersenyum hampa, menuntun emak kembali duduk. Digenggamnya tangan wanita itu yang sudah keriput. "Mak, Senja boleh nanya?" tanyanya. Pertanyaan ini sering mengganggunya, namun Senja tidak memiliki keberanian untuk bertanya.

"Mau nanya apa? Tentang Elang, ya?"

Senja mengangguk. "Emak udah kenal ayah dari kapan?"

Emak Rumi tampak mengerutkan kening. "Udah lama banget."

"Berarti emak kenal banget dong, sama Ayah? Ceritain tentang Ayah ke Senja, Mak. Senja pengen tahu."

Emak Rumi tampak menerawang, mengingat-ingat sosok Elang dalam kepalanya. "Ayahmu itu ... gimana, ya? Susah emak jelasinnya. Emak memang udah kenal dia dari dia waktu SMP, tapi ayahmu itu orangnya cuek, jarang ngomong, pendiam banget pas pertama kali Emak ketemu dia."

Cuek, mungkin saja iya. Tetapi kalau pendiam, Senja ragu. Ayahnya yang bobrok itu pendiam? Ah, mustahil rasanya. "Pendiam, Mak? Nggak mungkin, ah, Mak."

"Iya, Senja. Emak nggak bohong. Elang itu dulu anaknya pendiam banget. Dulu tuh 'kan, setelah ibunya meninggal, dia tinggal sendiri di rumah. Orangnya kaku banget, diajak ngomong juga susah."

"Terus ... kok bisa kayak sekarang?"

Untuk pertanyaan ini, cukup lama Senja tak mendapat jawaban. Emak Rumi hanya menatapnya tanpa mengeluarkan sepatah kata. "Emak," panggil Senja. "Ayah kenapa?"

Hembusan nafas emak Rumi terdengar gusar. Wanita setengah abad itu menatapnya teduh dan menggenggam tangannya. "Maafin, Emak. Emak gak bisa ngasi tahu kamu untuk pertanyaan yang satu itu. Mending kamu langsung tanya sama Ayah kamu."

Mengecewakan. Senja tidak mengharapkan jawaban seperti itu. "Kenapa? Ayah ngelarang Emak buat ngasi tahu Senja, ya? Ayah tuh jahat banget, sih," gerutunya.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang