Sore Tanpa Senja 30

64 8 5
                                    

Hingga pukul sepuluh malam, ayahnya tak kunjung pulang. Pergi tanpa berpamitan padanya jelas bukan suatu kebiasaan Elang. Jika saja ayahnya punya ponsel, Senja pasti sudah meneleponnya. Atau, jika saja Senja punya nomor telepon Dendi--satu-satunya teman dekat ayahnya--Senja pasti tidak akan sekhawatir ini.

Sayangnya Senja tidak memiliki apapun yang bisa menghubungkannya dengan ayahnya. Yang bisa memberinya kabar bahwa ayahnya baik-baik saja.

Gusar, Senja duduk di sofa. Menyalakan tivi dengan volume rendah, lalu akhirnya mematikannya. Bahkan ketika ayahnya pulang pukul empat pagi, Senja tak pernah merasa sekhawatir ini.

"Ayah ke mana, sih?" gerutunya, kesal bercampur resah.

Sempat terpikir olehnya untuk menelepon Adam dan meminta sahabatnya itu menemaninya mencari Elang. Namun urung sebab Senja yakin Adam pasti beristirahat total untuk pertandingan besok.

Keresahan yang tak kunjung henti membawa langkah Senja keluar rumah. Gadis yang menggerai rambut sebahunya itu duduk di teras. Memangku ponsel dengan perasaan cemas. Belum habis keresahan akibat kedatangan tiba-tiba ibunya, sekarang ayahnya membuatnya jauh lebih khawatir.

Hingga pukul setengah dua belas, Senja menghabiskan waktu dengan duduk di teras. Menghalau kantuk dan memilih menatap jalanan gang rumahnya yang tak ada sepi-sepinya. Setidaknya jalanan ramai itulah yang membuatnya tetap terjaga.

Lalu, deru mesin motor yang dikenalinya merambat ke indra pendengar. Senja yang sudah hampir memejamkan mata, lantas siaga berdiri. Tidak adanya penerangan yang cukup--baik di teras maupun halaman rumahnya--membuatnya kesulitan melihat keadaan ayahnya dari jauh.

"Kamu belum tidur?" tanya pria itu, sesaat setelah meletakkan motornya di teras.

Anehnya, pria itu tidak menghampirinya, terkesan menghindar malah. Sebab dia lantas membuka pintu dan masuk lebih dulu. Padahal Senja sudah menunggu berjam-jam. Gelagat aneh itu tentu saja memupuk kecurigaan tak berdasar Senja. Gadis itu mengikutinya.

"Ayah dari mana? Kenapa pergi nggak bilang-bilang?" cecarnya.

Namun, pria tiga puluhan tahun itu malah hening. Memilih berderap ke dapur yang tentu saja diikuti Senja dengan tidak sabar. Puncaknya ketika Elang berbalik, menggenggam gelas berisi air yang sudah setengah dengan erat.

Ada bekas luka di dekat bibirnya yang diduga Senja akibat dari berkelahi. Ditambah lebam-lebam di sekitaran wajah memperburuk dugaan Senja. Gadis itu mengernyit, memindai penampilan ayahnya yang baru dia sadari lebih berantakan dari biasanya.

"Ayah ... kenapa?" tanyanya lirih seiring rasa takutnya yang tiba-tiba menyergap.

Senja tahu, sangat tahu malah, bahwa Erlangga bukanlah pria baik. Bahkan Senja yakin, sedikit sekali orang yang mengakuinya sebagai orang yang baik. Dia hobi bertengkar, hobi minum-minum--meski sekarang Senja tak pernah melihatnya pulang dalam keadaan mabuk lagi--bahkan terlilit bamyak hutang.

Tetapi, pulang dalam keadaan sebabak belur ini, baru kali ini dihadapi Senja.

"Ayah nggak pa-pa." Jawaban pria itu menambah kernyitan di dahi Senja. "Tadi ... kamu kenapa nunggu di luar? Nggak ngantuk emang?"

"Ayah kenapa? Jangan ngalihin pembicaraan, deh!" Bahkan Senja tak sadar suaranya meninggi beberapa oktaf.

Pria itu berdecak, memilij duduk di kursi. "Emang ayah kenapa?"

Telunjuk Senja terarah pada luka-luka di wajah ayahnya, tanpa mengubah posisi sama sekali--masih berdiri di ambang pintu dapur. "Luka-luka itu. Ayah ... berantem?"

"Sedikit." Jawaban itu terlalu santai. Ayahnya bahkan masih sempat menyengir dan mengusap sudut bibirnya yang terluka.

"Jangan bohong!" tukas Senja. Dengan gerakan cepat dia ikut duduk di hadapan Elang. "Ayah berantem gara-gara apa? Ada yang nagih hutang lagi?"

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang