Sore Tanpa Senja 28

62 7 0
                                    

Senja mengerjap. Cahaya yang menembus indra penglihatannya sepertinya bukan cahaya matahari pagi. Terlalu terik, dan Senja bahkan dapat merasakan kulit wajahnya memanas.

Menyadari itu, Senja lantas menyibak selimut. Sedikit pening langsung menderanya begitu membuka mata. Gadis itu tidak begitu ingat apa yang membawanya ke kamar. Seingatnya, dia mendengarkan seluruh rangkaian cerita ayahnya di luar. Setelah itu mungkin dia tertidur dan tidak ingat lagi apa yang terjadi.

Gadis itu lantas menuruni kasur yang sudah tidak empuk lagi itu hanya untuk memastikan pukul berapa sekarang. Begitu melihat jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul satu siang, Senja mendesah panjang.

Senja lantas beralih ke cermin di sudut kamarnya. Helaan nafas gadis itu bertambah panjang melihat pantulan dirinya sendiri. Matanya sembab, ada lingkar hitam di bawah matanya, dan rambut sebahunya berantakan. Disusul bunyi yang berasal dari perutnya, Senja meringis. Dia lapar.

"Senja?"

Pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Masih dengan keadaan berantakannya, Senja menyorot hampa pada pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Elang.

Elang sama diamnya untuk beberapa saat. Dia hanya menyorot Senja dan lantai kamar bergantian. Namun, dari sorot matanya yang lelah, Senja tahu jika ayahnya sama terlukanya.

"Kamu capek banget, makanya nggak Ayah bangunin," ucap Elang akhirnya.

Senja tak menyahut. Hanya memberikan anggukan singkat sebelum mengambil handuknya di balik pintu lalu melalui Elang ke luar kamar tanpa sepatah kata.

Pikirannya saat ini tak berarah. Terlalu rumit untuk dijelaskan. Hatinya pun masih sama sakitnya. Hanya saja, Senja bersyukur dia tidak menangis lagi siang ini. Ternyata mendengar seluruh rangkaian cerita tentang masalalu ayahnya begitu melelahkan.

Usai mandi dan mengganti pakaiannya dengan baju kaos lengan pendek dan celana tidur panjang, Senja kembali ke dapur. Elang sudah duduk di sana sembari menuangkan nasi ke piringnya. Pemandangan langka.

"Kamu masih marah sama Ayah?"

Pertanyaan itu diajukan Elang setelah hampir setengah isi piringnya habis dimakan. Senja bukannya tidak mau berbicara dengan Elang. Hanya saja, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan.

Senja marah, tentu saja. Namun, setelah mendengar semua cerita ayahnya, Senja jadi dapat memaklumi kebohongan itu. "Nggak," jawabnya pelan. Tumis kangkung dan telur balado di mulutnya jadi terasa hambar.

"Ayah minta maaf."

"Ayah udah ngomong itu berkali-kali." Senja menyahut sembari menyuap makan siang masakan Elang yang masih terasa hambar.

"Tapi kamu belum maafin Ayah."

"Aku udah maafin Ayah," sahut Senja cepat. "Lagian itu bukan sepenuhnya salah Ayah. Malah harusnya ... aku berterima kasih sama Ayah karena nggak ngabulin perkataannya Dia."

"Perkataan yang mana? Yang nitipin kamu di panti?"

Senja mengangguk rikuh. Seperti ada sayatan tak kasat mata di hatinya ketika mengingat itu. Ibunya, seseorang yang dulu sangat dirinduka  Senja, pernah berpikir begitu buruk sampai ingin membuangnya ke panti asuhan.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang