Sore Tanpa Senja 24

58 6 0
                                    

Erlangga di usia 18 tahun berpikir bahwa hidup sebatang kara adalah cobaan terbesar dalam hidupnya. Namun, diikuti ke mana-mana oleh gadis berwajah polos lebih besar cobaannya.

Kadang, Elang berpikir untuk bertindak jahat dengan menyekap gadis itu atau sekalian memutilasinya. Sungguh, Elang tidak bisa bersabar dengan mulutnya yang tak bisa diam dan kecentilanya yang memuakkan.

Jika orang lain berpikir Elang sangat beruntung karena disukai gadis tercantik di sekolah, maka Elang tegaskan jika didekati apalagi disukai gadis itu adalah masalah. Gadis itu punya tingkat kekepoan yang sudah akut. Jangankan letak rumah, dia bahkan tahu ukuran sepatu Elang.

Hal itulah yang membuat Elang berusaha menghindari gadis yang kemudian Elang tahu namanya Dia, Thalita Putri Dia.

Sore itu Elang sengaja pulang lebih akhir  setelah selesai kelas tambahan. Tujuannya tentu saja untuk menghindari Dia, si pendek yang meresahkan. Namun--lagi-lagi--nasib buruk menghampiri Elang begitu keluar kelas.

Dia duduk di lantai koridor sembari memakan lolipop berukuran sedang. Gadis itu pasti sudah benar-benar gila. Di saat semua orang--bahkan guru-guru--sudah meninggalkan sekolah, dia masih rela duduk di sana demi bertemu Elang. Catat itu, Demi Bertemu Elang.

"Hai, Kak,"  sapanya, kelewat riang dengan memamerkan gigi-giginya yang tersusun rapi.

"Ngapain lo di situ?" Elang bertanya tak suka. Firasatnya buruk mengenai kehadiran Dia.

"Mau ikut Kak Elang pulang," jawab Dia ceria. Senyumnya bahkan tak lepas meski sedetik dari bibirnya.

"Cewek sinting!"

Jengah, Elang meninggalkannya duduk sendirian. Elang yang super sibuk tentu tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni Dia yang menyebalkan. Sayangnya Dia malah terus mengikutinya hingga ke luar sekolah.

Tak tahan dengan kelakuan gadis itu, Elang berbalik spontan. Dadanya yang ditabrak kening Dia sama sekali tak memberikan efek. Malah Dia yang  mengaduh sembari memegangi keningnya.

"Lo nggak takut sama gue?" tanya Elang, bernada mengancam sekaligus  pengusiran.

"Kenapa harus takut? Kak Elang juga manusia, dan kita sama-sama makan nasi, 'kan?"

"Tapi gue bisa aja ngapa-ngapain lo? Emang lo nggak takut?"

Dia tertawa. Lepas sekali. Dia bahkan sampai memegangi perutnya. Padahal Elang rasa tidak ada yang lucu dari perkataannya. Namun, itu juga tawa pertama yang didengarnya begitu lepas. Saking lepasnya dentumannya bisa sampai menghebohkan jantung Elang.

"Emang Kak Elang bisa apa, sih?" tanyanya, masih dengan sisa-sisa tawa.

Elang meraup wajah, kehilangan kata-kata. Kalaupun dia menjawab, Elang tak yakin akan membuat gadis ini takut.

"Kak Elang bisa ngapain?" Dia memburunya lagi dengan tanya. Dan, itu sungguh menyebalkan.

Maka, dengan rasa geram luar biasa, Elang mencengkram pundak Dia. Memelototinya seolah Dia adalah anak kecil. "Denger, ya, pendek!" ketusnya. "Lo, jangan ngikutin gue lagi. Ini peringatan pertama dan terakhir. Kalau lo emang nggak bisa dihentiin dengan kata-kata, gue bakal buat lo nyesel dengan apa yang bisa gue lakuin ke lo."

Namun, peringatan Elang sore itu sama sekali tak berpengaruh. Besoknya Elang melihat gadis itu lagi, duduk di kursi di kelasnya dengan sekotak bekal. Selain bebal, apa lagi yang cocok untuknya?

***

Karena kata-kata kasar, tatapan tajam, bentakan dan penolakan tak mempan sama sekali untuk mengusir Dia dari hidupnya, Elang memutuskan untuk membiarkannya melakukan apapun sesuka hatinya. Keputusan itu dibuat Elang tepat di bulan ke-tiga Dia mengacaukan hidup tenangnya.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang