Sore Tanpa Senja 31

79 9 11
                                    

Keraguan menyelimuti diri Senja di jam-jam terakhir sebelum O2SN. Berulang kali sebelum berangkat ke sekolah, Senja keluar masuk kamar mandi, menatap pantulan dirinya yang dibalut baju olahraga khusus atlet O2SN di cermin kamarnya, atau hanya menenggak air mineral hingga tandas segelas.

Keraguan itu jelas beralasan. Senja tidak ragu melakukan yang terbaik hingga menyabet juara, sungguh. Yang membuatnya ragu malah apa yang akan terjadi setelah itu. Apa dia masih bisa bernafas baik-baik saja setelah itu atau malah hidupnya akam berakhir detik itu juga.

Memandangi pantulan dirinya di cermin, Senja memegang dada, merasakan detak jantungnya yang tenang. Satu dua lompatan mungkin tidak akan membuatnya lantas jatuh. Tetapi Senja ragu untuk lompatan ke-tiga dan seterusnya.

Semoga saja--hari ini saja--Tuhan berbaik hati dengan memberinya kekuatan ekstra.

Lalu pikirannya beralih pada Abi, sahabat belasan tahunnya. Senja sudah mencoba menghubunginya tadi malam, namun gagal. Nomornya aktif, tapi Abi tidak menjawab panggilan teleponnya. Alhasil Senja hanya bisa mengirimi pesan berisi permintaan maaf dan mengabarinya bahwa hari ini adalah hari pertandingannya.

Senja merasa tidak tahu diri sebenarnya. Meminta Abi menyaksikan pencapaian mimpi-mimpinya di saat Senja bahkan lari di hari istimewa Abi, rasanya tidak cukup pantas. Senja tidak seharusnya melakukannya. Namun, tetap dia lakukan dengan harapan hati Abi bisa luluh.

"Senja, sarapannya udah siap."

Suara itu mengalihkan atensi Senja. Menoleh, dia menemukan sosok pria kesayangannya berdiri di ambang pintu kamar. Peluh tampak jelas memenuhi keningnya, namun senyumnya yang kelewat lebar pagi ini membuat Senja turut tersenyum. Demi dirinya, ayahnya sesemangat itu.

"Ayah masak spesial hari ini," katanya ketika mereka berjalan bersisian menuju dapur.

"Masak apa?" Senja menanggapi.

"Ayam masak kecap. Kalau nggak salah ingat kamu suka banget dulu makannya. Iya 'kan?"

Menahan air matanya yang ingin jatuh, Senja mengangguk. Makanan itu masih menjadi favoritnya hingga saat ini. Hanya saja, kendala biaya dan waktu membuat lidahnya jarang menyentuh makanan itu--kecuali jika emak Rumi tengah memasaknya.

"Dulu kan, ayah nggak pernah masak ayam kecap. Kok sekarang bisa? Belajar dari mana?" tanya Senja. Sesaat setelah duduk, bau ayam kecap semakin kuat menyapa indra penciumannya.

"Tadi pagi-pagi ayah udah ke rumah emak. Minta dimasakin resep sekalian belanja bahan masaknya. Maaf, ya, kalau nggak enak."

Jawaban Elang lagi-lagi menyentil perasaan Senja. Menutupi itu, Senja menyendok nasi ke piring dengan semangat lalu mengambil satu potong ayam kecap. Mengambilnya dalam potongan kecil untuk dicicipi, Senja lalu berseru semangat.

"Enak, Yah. Aku suka. Kapan-kapan masakin lagi, ya?" ujarnya.

Sontak saja senyum Elang mengembang lebar. "Pasti. Nanti Ayah masakin kamu masakin lain yang kamu suka, setiap hari. Ayah bakal belajar banyak setelah ini."

Sesendok lagi masuk ke mulut Senja. Gadis itu mengunyahnya penuh hikmat. "Ayah datang 'kan, hari ini? Aku tandingnya agak siangan, kok," ujarnya.

Anggukan Elang menjawabnya. "Ayah pasti datang. Tapi agak telat nggak apa-apa, ya? Ayah ada urusan di pasar."

Tentu saja tidak apa-apa. Asal ayahnya ada, Senja akan merasa baik-baik saja. Setelah itu sarapannya dihabiskan dengan iringan obrolan ringan. Ayahnya berjanji akan membelikannya sepatu baru setelah ini. Terlambat memang. Namun, Elang bersikukuh ingin membelikannya sebagai hadiah untuk Senja--terlepas dari alasan apakah Senja menang atau kalah.

Usai sarapan, perhatian Elang jadi berkali lipat. Pria itu yang mengambilkan tasnya di kamar. Menanyai keadaannya bahkan membuatkannya segelas susu yang dibeli pria itu sachetan pagi-pagi sekali.

"Udah siap semua, 'kan?" tanya Elang saat Senja memasang sepatunya di teras. "Yang jemput kamu siapa? Adam?"

"Iya. Dia udah di jalan, kok, Yah." Tali sepatunya sudah terikat sempurna. "Ayah kenapa mondar-mandir gitu, sih?" tanya Senja kemudian. Tingkah aneh ayahnya membuatnya penasaran. Apalagi mendengar jawaban pria itu setelahnya.

"Ayah gugup."

"Lah? Gugup kenapa? Yang mau tanding 'kan, aku."

Berhenti dari aksi mondar-mandirnya di teras, Elang lalu duduk di samping Senja. "Nggak tau kenapa. Perasaan Ayah nggak enak," kata pria itu. "Kamu yang mau tanding, tapi Ayah yang khawatir."

Senja juga punya kekhawatiran yang jelas beralasan. Berbeda dengan kekhawatiran ayahnya yang diduga Senja hanya dari perasaannya, tidak bisa dia tebak, dan akan mengganggunya sepanjang hari ini. Maka dengan melawan rasa kalutnya, Senja mencoba meyakinkan.

"Aku aja biasa aja, Yah. Ini bukan pertama kali aku tanding," katanya pongah. Dengan tawa renyah dia yakin sudah bisa mencairkan keadaan mereka yang sempat tegang.

"Iya, Ayah percaya sama kamu. Ayah cuma nggak ngerti sama diri sendiri. Bisa-bisanya Ayah sekhawatir ini." Elang menularkan tawa yang sama. Seolah kekhawatiran mereka tidak seharusnya menjadi pikiran.

Bertepatan dengan itu, suara klakson dari motor Adam terdengar. Cowok itu membuka helm dan memanggil nama Senja. Tak lupa pula dia menyapa Elang, dengan hangat seperti biasa.

"Aku pergi, ya, Yah," pamit Senja. Dia mencium punggung tangan Elang lama, restunya ada di tangan pria itu.

Dengan usapan di puncak kepala, ayahnya menyahut, "iya. Hati-hati. Semangat, ya, jangan lupa doa!"

Dan, untuk kali terakhir, setelah melepaskan tangan Elang, Senja beralih memeluknya. Sangat erat dan sulit dilepaskan. Ketakutannya memuncak dan air matanya hampir lolos jika tidak mendengar gurauan ayahnya.

Dalam pelukan ayahnya, Senja teringat perkataan dokter Ilham, dokter yang menangani penyakitnya, bahwa aktivitas berlebihan akan berbahaya untuk jantungnya. Jantungnya bisa saja berhenti mendadak. Maka dari itu diperlukan operasi untuk mengangkat bagian di otot jantungnya yang menebal.

Operasi itu perlu uang banyak.

Sedangkan kemarin malam, ayahnya baru saja babak belur karena hutang untuk membiayai sekolahnya hingga tiga tahun. Pria itu bahkan tidak tahu tentang sakitnya. Menceritakan pada Elang hanya akan menambah bebannya. Atau bahkan menanamkan dalam diri pria itu sebuah kegagalan sebagai seorang ayah.

Senja tidak ingin itu. Senja tidak ingin melukai ayahnya lagi, dengan apapun. Masih dalam pelukan ayahnya pula, doa-doa Senja melangit. Meminta Tuhan memberinya kekuatan sedikit lebih lama dari hari ini. Jika dia tidak bisa bertahan, setidaknya jaga ayahnya. Tabahkan hati pria itu menghadapi kehilangan dan jangan pernah menyusahkannya.

"Aku sayang Ayah," ungkap Senja setelah melepas pelukan. "Lebih dari apapun."

Senyum ayahnya mengembang lebar dan Senja berharap masih bisa melihatnya setelah ini. Setelah menyerahkan tropi kebanggaan yang pernah menjadi cita-cita ayahnya. "Kamu dunia Ayah. Ayah menyayangi kamu lebih dari apapun."

"Aku akan pulang cepat."

Janji Senja sungguh-sungguh, memang. Tetapi, di sudut hatinya yang paling jauh, dia tidak yakin bisa kembali.

***

Pendek, ya? Sengaja. Karena di part ini mau kukhususin untuk Elang-Senja aja.

Nangis nggak?

Siap-siap ke part selanjutnya yah

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang