Sore Tanpa Senja 18

66 7 6
                                    

Senja tumbuh di lingkungan tak bersahabat yang membuatnya belajar banyak hal mengenai kemungkinan.

Seperti ketika ayahnya pulang larut, atau bahkan tidak pulang sama sekali, Senja berpikir bahwa mungkin ayahnya mencari pekerjaan sampingan lain. Walau pada akhirnya kemungkinannya dipatahkan oleh fakta bahwa ayahnya tengah mabuk dan menikmati hidupnya yang salah itu.

Begitu juga ketika Senja menyadari bahwa dia memiliki perasaan yang tak hanya sebatas sahabat kepada sahabatnya. Kemungkinan perasaannya akan terbuang percuma sangat besar. Namun, ada kemungkinan lain bahwa Abi juga memiliki perasaan yang sama--melihat sikap sahabatnya itu yang terlalu baik.

Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi juga membentuk Senja menjadi seseorang yang lebih menerima keadaan. Senja akui, meski berat, perasaannya yang sudah kalah bahkan sebelum berperang, harus dienyahkan. Harus ditiadakan agar persahabatannya tetap baik-baik saja.

Senja akui lagi, sulit untuk tidak merasa cemburu ketika melihat Abi mengobrol dengan Maryam. Berlebihan, mungkin. Senja tak hanya merasa kehilangan objek untuk menumpahkan perasaan, namun, juga kehilangan sosok sahabat yang sudah menemaninya sejak kecil.

Sore itu mendung. Senja tak langsung pulang begitu sampai di pertigaan jalan yang memisahkannya dengan Maryam. Dia menelepon Adam, bercerita bahwa perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Meski sempat mengomel, Adam tetap mendengarkan curahan hatinya yang dia lakukan dengan duduk di pinggir jalan hingga matahari terbenam utuh.

Awalnya berat. Awalnya menyedihkan. Namun, dari kemungkinan yang biasa dia pelajari, Senja juga menjadi lebih tabah. Dia yang selalu memalingkan muka setiap melihat Abi dan Maryam tengah bercerita, kini berani melihat, meski dengan ulasan senyum getir.

Semua hal akan berubah pada masanya. Itulah yang menguatkan Senja, dan tetap menegakkan langkahnya. Alih-alih menangisi patah hati secara berlebihan, Senja mengisi waktu patah hatinya dengan berlatih lebih keras untuk menggapai mimpinya.

"Mau ke mana? Emang lo nggak mau latihan dulu?"

Pertanyaan itu diajukan Adam ketika Senja menyeretnya menuju gerbang. Benar-benar menyeret karena Adam tidak ingin pulang lebih cepat sore itu.

"Pulang lah," tukasnya. "Anterin gue."

"Nggak!" Adam menolak. "Gue mau latuhan dulu sama anak-anak atletik. Tiga hari lagi kita tanding."

"Ya terus kenapa? Pak Azmi aja bilang minggu ini kita boleh istirahat," balas Senja tak mau kalah.

"Waktu lo patah hati, gue temenin lo latihan mampus-mampusan sampe malam, ye. Giliran udah baik, malah seenaknya ngajakin gue pulang."

Senja mencebik. Mencubit lengan Adam keras-keras. "Jangan nyebelin, deh," ucapnya ketus. "Ayo, temenin gue pulang."

"Nggak mau," tolak Adam.

Abi sudah pulang lebih dulu. Begitu juga dengan Maryam. Itulah alasan kenapa Senja malah merepotkan adam untuk mengantarnya pulang.

"Gue mau ngajakin ke suatu tempat," ujar Senja dengan anggukan meyakinkan. Kata di akhir kalimatnya terdengar ragu. Tak heran jika Adam memicing curiga padanya.

"Nggak percaya gue. Paling abis gue anterin, lo nyelonong masuk dan ninggalin gue."

"Serius gue, nggak bohong."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang