Elang sudah bercerita lebih dari setengah jam. Dengan posisi duduk bersila di lantai rumahnya yang dingin, pria itu meneguk air putih yang baru saja diambilnya. Mengenang masalalunya membuat tenggorokannya kering, matanya terasa panas, dan hatinya sakit.
Seharusnya, memang lebih baik jika Elang tidak menceritakannya sekarang. Namun, sikap keras kepala yang diwarisi putrinya dari dirinya sendiri tidak ingin menunggu lebih lama. Dengan wajah tanpa ekspresi berarti, anak gadisnya duduk tak jauh darinya. Memeluk lututnya dan mendengarkan dalam diam.
"Ayah ikut dengan Tha hari itu." Elang kembali bercerita. Untuk bagian ini--entah kenapa--sulit sekali mengungkapkannya. Elang bahkan berkali-kali meneguk salivanya, antara ragu dan juga takut.
"Awalnya semuanya baik-baik aja. Hari pertama di puncak berjalan baik. Walaupun temen-temennya Tha terlalu bebas menurut Ayah, tapi nggak ada hal buruk yang terjadi. Ayah satu-satunya yang paling tua di antara mereka saat itu."
Elang tidak keberatan, sungguh. Meskipun beberapa kali menolak kegiatan-kegiatan yang diadakan teman-temannya Dia, pada akhirnya Elang tidak bisa menolak permintaan gadis itu.
Malam itu sudah hampir tengah malam. Tidak ada pula yang aneh-aneh dari agenda malam itu. Mereka hanya membuat pesta kecil-kecilan di ruang tengah vila. Bahkan tidak ada alkohol yang bisa merusak kesadaran remaja-remaja tanggung itu.
Mereka hanya memutar musik dengan volume besar dan menghabiskan makanan yang Elang tidak tahu dari mana. Dilanjut dengan mengobrol panjang lebar dengan kesadaran penuh.
Satu-persatu teman-teman Dia meninggalkan ruang tengah dan memilih tidur. Dia yang bersandar di bahunya saat itu juga mengantuk. Dan, akal sehat Elang juga memintanya agar menyuruh gadis itu tidur.
Sayangnya, malam itu tidak berjalan begitu baik. Ditinggal berdua di ruang tengah melenyapkan sedikit demi sedikit akal sehat Elang. Awalnya Elang hanya memulai bercerita tentang keluarganya yang hancur. Dilanjut dengan usapan di bahu dari Dia yang menguatkannya.
Keduanya terus berbagi cerita. Hingga lupa. Hingga kesalahan itu terjadi tanpa dipaksa dan dalam kesadaran yang benar-benar ada.
***
"Ayah nggak menganggap kamu kesalahan, Senja."
Suara ayahnya bergetar. Namun, perasaan Senja sudah benar-benar terluka. Sejak kecil, Senja memang tidak asing dengan istilah anak di luar nikah yang dilontarkan padanya. Tetapi, Senja tidak begitu menanggapinya karena seperti yang diceritakan ayahnya, ibunya sudah meninggal saat Senja masih sangat kecil.
"Mereka ngomong gitu emang karena nggak pernah lihat Ibu kamu aja," kata ayahnya dulu. Senja percaya, sangat percaya.
"Memangnya Ibu nggak pernah tinggal di sini?"
Pertanyaan Senja hari itu dijawab tidak oleh ayahnya. "Ibumu mana mau tinggal di rumah yang sempit dan kotor begini," kata ayahnya. Senja percaya-percaya saja.
Walaupun hidup tanpa seorang Ibu sangat menyulitkannya dan membuatnya marah pada takdir, namun Senja percaya pada ayahnya.
Senja menggigit bibir bawah. Menahan isakan dan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Rasanya sakit. Seperti ada yang merobek hatinya sampai membuat Senja kesulitan bernafas. Air mata sialannya ini juga seolah tidak ada hentinya.
Mungkin, jika fakta itu tidak keluar dari mulut ayahnya sendiri, Senja tidak akan sesakit ini. Perasaannya tidak akan seterluka ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sore Tanpa Senja
Dla nastolatkówStart : 14 Agustus 2020 Andai Senja Besari Erlangga bukan anak Erlangga, mungkin sore hari akan dia habiskan untuk membangun tinggi mimpi-mimpinya di gedung olahraga sekolah. Sayangnya, Senja itu anak dari Elang. Mimpi-mimpinya bisa terputus begitu...