Sore Tanpa Senja 10

79 9 1
                                    

Erlangga, ayahnya yang bobrok itu bukan ayah yang baik. Tentu saja. Namun, bukankah setiap ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya? Dan jika sudah dalam konteks cinta, bukankah kita menjadi buta?

Senja Besari Erlangga tidak perlu mencari alasan untuk membenci atau bahkan meninggalkan ayahnya, sekalipun pria itu sering merepotkan dan menyusahkannya. Senja bahkan harus rela kehilangan masa kecil layaknya masa kecil teman-temannya.

Ayahnya tidak punya banyak uang, Senja tahu itu. Ayahnya bahkan kerap mengutang di warung untuk membeli bahan-bahan dapur. Senja bahkan hafal hal itu. Jadi, ketimbang membebani pria itu dengan kiamat kecil yang menimpanya saat ini, Senja memilih bungkam.

Akan ada waktu di mana ayahnya mengetahui segalanya. Atau kalau perlu, ayahnya tidak perlu tahu. Senja tidak ingin menyusahkan Elang, untuk kali kesekian. Entah seperti apapun takdir yang disiapkan Tuhan untuknya, Senja tetap tidak ingin memberitahu soal penyakitnya ini pada Elang. Tidak untuk sekarang.

Senja menarik nafas dalam. Memejamkan matanya sesaat guna mengumpulkan kekuataan jika berhadapan dengan Elang nanti. Sudut bibirnya ditarik paksa, membentuk senyum. Tangannya yang ingin mengentuk pintu terhenti di udara. Pintu di depannya sudah lebih duku terbuka.

"Kenapa nggak masuk?"

Senja mengerjap, bingung menjawab apa. Namun, gadis itu segera menyengir kecil. "Ini mau masuk," ujarnya langsung masuk melewati Elang.

Sebenarnya Senja agak heran tadi mendapati vespa tua ayahnya terparkir manis di teras. Apa ayahnya berangkat pagi-pagi sekali dari Bandung? Ah, mengingat Bandung, Senja teringat lagi kecurigaannya.

Mengabaikan pikirannya yang semrawut, gadis lima belas tahun itu segera masuk kamar. Niatnya ingin ganti pakaian sekaligus tidur siang. Dia letih. Namun, panggilan Elang dari dapur mengurung semua rencananya.

"Ada apa, Yah?" tanyanya, berdiri di dekat pintu yang menyekat antara dapur dan ruang tengah.

"Makan dulu sini! Ayah udah masak." Elang berujar. Tangan-tangan besarnya tampak cekatan menyendok nasi dan lauk-lauknya ke dalam piring kosong.

Apa Bandung berefek sebegini hebat?

Tak ingin mengutarakan pertanyaan dalam kepalanya--karena bisa saja mereka akan adu mulut lagi--Senja ikut duduk. Menatap Elang masih dengan pandangan tak percaya. Pandangannya beralih ke meja makan. Ada telur balado, tahu dan tempe goreng, serta sayur. Sederhana memang, tapi bisa menjalarkan hangat sampai ke hatinya.

"Kapan Ayah pulang dari Bandung?" tanya Senja. Diterimanya piring yang sudah diisi lengkap oleh Elang.

"Tadi malam."

Belum sempat Senja menanggapi, Elang bertanya lagi. "Tadi malam kamu di mana? Kenapa nggak ada di rumah? Ayah sampe nyariin kamu ke rumah Abi gara-gara kamu hilang."

Tidak salah lagi. Bandung benar-benar berefek hebat untuk ayahnya. Lihat sekarang! Seorang Erlangga yang memiliki tingkat kepedulian di bawah nol mencarinya. Keajaiban. "Nginep di rumah temen, Yah. Tadi malem 'kan hujan tuh, makanya aku gak bisa pulang."

"Temen mana? Ayah ke rumah Abi, tapi kamu nggak ada. Adam bilang, kamu juga nggak ada main ke rumahnya."

"Temen baru," jawab Senja, mulai jengah. Sejak kapan ayahnya bertransformasi jadi cerewet?

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang