Sore Tanpa Senja 15

62 10 7
                                    

Elang mengipasi wajahnya dengan robekan kardus bekas mie instan. Peluh masih menetes melewati pelipis dan pipinya. Setiap hari bekerja di pasar sebagai kuli angkut barang, namun, Elang tak pernah merasa seletih ini. Pria kepala tiga itu tengah duduk di depan kedai kopi Dendi, menunggu membawakannya minum.

Dendi datang tak lama setelah itu. Pria itu tak hanya membawakannya sebotol air mineral, tapi juga beberapa keping roti yang ditata dalam piring. "Gue tahu lo pasti laper, 'kan?" tanyanya yang diangguki Elang.

Dia memang merasa sangat lapar. Namun, perasaan tidak tega--yang kerap menganggunya akhir-akhir ini--membuatnya membatalkan niat untuk membeli makan siang dan memakannya sendirian. Membawa dua bungkus nasi untuk dimakan bersama Senja nanti malam pasti terlihat lebih baik.

"Tau aja lo. Gue pengen beli makan tadi, tapi kasian Senja. Gue lupa ngasih duit sama dia. Ntar pulang dari sini gue beli makanan," ujarnya.

"Makin akur, ya, lo sama Senja?"

Elang menandaskan minumannya hingga setengah, lalu tertawa pelan. "Ya gitu, dah. Gue juga heran itu anak kenapa cepat banget luluhnya. Padahal mah dulu keras kepala bener perasaan."

"Ya bagus lah, Lang, kalo gitu. Harusnya lo bersyukur."

"Gue bersyukur sih, Den. Tapi Senja juga aneh akhir-akhir ini. Anaknya jadi makin rajin sekarang. Sholatnya bahkan gak tinggal lima waktu."

Elang menilik ekspresi Dendi yang sama terkejutnya. "Lah, kenapa bisa gitu?"

"Mana gue tahu. Tapi gue denger dari temennya sih, dia punya temen baru sekarang. Cewek. Namanya lupa gue. Tapi, ya, anak baik-baik gitu."

"Nah, mungkin karena temennya itu, Lang. Tinggal elo sekarang."

"Tinggal gue apaan?"

"Tinggal kapan taubatnya." Dendi tertawa, menepuk-nepuk bahu Elang yang menggerutu kesal.

Tawa Dendi berhenti seketika. Pria itu menyeru nama Elang dengan heboh. "Tau nggak lo?" tanyanya. "Kemaren sore Dia ke sini. Nyariin elo."

Elang tersedak es teh manisnya. Menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit, Elang menyeruput es tehnya lagi sebelum menimpali. "Ngapain dia nyariin gue?" Tersadar sesuatu, Elang bertanya lagi. "Terus dia dapat alamat lo dari mana?"

"Dia tahu kita ke Bandung. Makanya dia nanyain temen gue yang kita datangi waktu itu. Kan rumahnya deketan tuh. Dan parahnya, dia juga tahu lo nyariin dia duluan."

Fakta ini seperti bom yang meluluhlantakkan perasaan Elang. Ada rasa menyesal yang begitu dalam karena dia telah bertindak gegabah waktu itu. Mungkin, jika Elang tidak ke Bandung, wanita itu tidak akan punya sedikitpun keinginan untuk bertemu dengannya.

Namun, jauh di balik sesal yang menumpuk di hatinya, Elang juga merasa takut. Takut yang sangat berlebihan. Sampai-sampai untuk memikirkannya pun Elang enggan. Kembalinya wanita itu adalah malapetaka besar yang bisa menghancurkan Elang kapan saja.

"Terus lo jawab apaan kemaren?"

"Gue bilang aja kabar lo baik. Toh, Dia cuma nanya kabar lo doang."

"Cuma itu aja?"

"Lo berharap dia nanya apa, Lang?"

Sial! Elang merasa tertikam tepat di ulu hati. Ditelannya ludah pahit. Sesuatu yang entah apa seperti memenuhi rongga dadanya sehingga membuatnya kesulitan bernafas.

"Selagi dia ketemu gue ...," jeda Elang. Menarik nafas panjang yang terasa berat. "Gue yakin bakal baik-baik aja. Salah gue juga, Den, karena udah nyoba buat ketemu dia."

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang