Sore Tanpa Senja 19

76 9 2
                                    

Setelah mengenal Abi, Senja berani memimpikan sebuah keluarga bahagia. Keluarga yang sederhana, namun, penuh suka dan tawa. Keluarga semacam itu dilihat Senja dalam lingkup rumah Abi. Papanya yang perhatian, mamanya yang pinya kasih sayang berlimpah, dan Ara, adik kecil Abi yang manis.

Senja jelas iri. Hidup hanya berdua dengan ayahnya bukanlah gambaran yang baik mengenai keluarga bahagia. Terlebih lagi masa kecilnya seolah direnggut paksa. Keadaan yang menuntut Senja, membuatnya mau tak mau dewasa sebelum waktunya.

Namun, Senja tidak menyerah. Definisi keluarga bahagia mungkin tidak akan pernah ditemuinya di sepetak rumah kontrakan yang menjadi tempat tinggalnya sampai belasan tahun. Tetapi, bukan tidak mungkin jika delapan sampai sepuluh tahun mendatang, Senja bisa menciptakan rumahnya sendiri. Mewujudkan keluarga bahagia miliknya sendiri.

Berawal dari sanalah, harapan-harapan yang beberapa kali ditolaknya, semakin lama semakin tidak tahu diri. Bahkan pernah Senja merasa bahwa perasaannya bukan hanya sampai sebatas harapan. Senja punya keyakinan kuat kalau Abi juga akan ada di sampingnya, selamanya.

Senja baru menyadari bahwa setiap manusia akan memilih jalan pulangnya masing-masing, setelah mendapat kabar tentang perasaan Abi kepada Maryam. Sampai di sana saja, Senja sudah sangat yakin bahwa memang bukan dirinya yang dipilih Abi menjadi tempat pulang.

Jujur, melewati koridor yang ramai tanpa gandengan tangab Abi yang selalu hangat di telapak tangannya, memang sedikit asing. Namun, Senja paham betul mengapa sahabatnya sejak kecil itu mulai menghilangkan kebiasaan-kebasaan yang dulu mereka lakukan.

Tersenyum kepada teman seangkatannya yang menyapanya, Senja mempercepat langkah begitu punggung tegap Adam terlihat. Niatnya Senja ingin mengagetkan cowok itu. Namun, Adam tiba-tiba berbalik dan menabrak wajahnya.

"Ngapain sih, lo?" tanya cowok itu heran. Jika saja dia tak berhasil menangkap pergelangan tangan Senja, dapat dipastikan gadis itu akan berakhir di lantai.

"Mau ngagetin," cengirnya. Perlahan melepaskan tangan dan berjalan bersisian bersama Adam.

"Niat lo tuh, ya, nggak ada bagus-bagusnya." Adam mendengus, yang ditanggapi Senja dengan anggukan penuh yakin.

"Malam ini lo datang, 'kan?" Adam bertanya beberapa meter lagi sebelum mencapai kelas mereka. "Ke acaranya Abi," lanjutnya menjelaskan.

"Datang, lah. Yakali gue nggak dateng."

"Tapi bakal ada Maryam, loh."

Senja menghentikan langkahnya untuk sekadar menjitak kepala Adam, dan menatapnya kesal. "Ya terus kenapa? Mereka berdua tuh temen gue, Adam. Nggak mungkin gue langsung nggak suka ke Maryam cuma karena perasaan sepihak ini," ujarnya, memelan di ujung kalimat.

"Gue juga nggak bakal setuju sih, kalau lo sampe berubah cuma karena ini. Maksud gue, bukannya perasaan lo nggak perlu dihargain. Tapi kan, lo tau sendiri kita temenan udah lama."

Anggukan Senja pertanda membenarkan. "Gue nggak akan ngerusak persahabatan kita," ungkapnya, sangat yakin.

Obrolan mereka berhenti setelah memasuki kelas. Tidak ada Abi. Hanya ada Maryam yang menyambutnya dengan senyum hangat dan bersahabat. Senja tak heran, mungkin saja Abi tengah mempersiapkan diri untuk penampilannya nanti malam.

Meski setelah itu, Senja mendapat pesan dari Abi yang mengingatkannya untuk datang di acara nanti malam. Senja tersenyum getir. Sahabatnya itu sedekat ini terkadang. Dekat yang tak bisa untuk digapainya.

***

"Lo nggak lupa malam ini, 'kan, Lang?"

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang