Sore Tanpa Senja 21

70 8 5
                                    

Note : Kalau ada typo, koreksiin yak. Aku jenis penulis yang nggak revisi sebelum publish soalnya

***

"Ibu ... ibu saya sudah meninggal."

Senja mundur selangkah. Namun, siapapun tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah tindakan penolakan atas kenyataan mengejutkan ini. Senja menambah langkah mundurnya saat Dia mencoba merengkuhnya kembali.

Sungguh, Senja tak pernah membayangkan drama menyedihkan seperti ini sebelumnya. Lagipula Senja percaya jika ibunya memang sudah meninggal. Sangat percaya. Sekalipun Senja melihat bayangan dirinya sendiri di wajah wanita yang tersedu di depannya ini, Senja tidak mungkin langsung percaya dan membalas dekapannya.

Maka, demi kesadarannya yang harus tetap ada, Senja berbalik. Menulikan telinga atas seruan ayahnya, dan mempercepat langkah. Senja bahkan sudah tidak peduli jika saat ini dia sudah menjadi perhatian seisi restoran. Senja hanya tidak ingin percaya. Tidak pernah ingin percaya.

Setelah berada di luar restoran, satu-satunya orang yang dicari Senja adalah Adam. Senja sangat yakin jika Adam masih berada di sekitar restoran, dan berharap jika sahabatnya itu bisa membawanya ke mana saja--ke mana saja asal sesuatu yang seperti mengoyak hatinya ini hilang.

Dan, Adam memang benar-benar ada di sana. Berdiri di samping motornya dengan gerutuan yang samar didengar Senja. Senja melangkah pelan, sekuat tenaga berusaha menahan air matanya yang sembarangan ingin jatuh.

Namun, gagal. Belum sempat menyapa Adam, air matanya sudah lolos duluan. Apapun yang ingin keluar dari mulutnya malah berubah isakan. Senja tak sanggup, sungguh.

"Lama banget, sih? Karatan gue nungguin lo dari tadi." Adam menyergah, tepat setelah keberadaannya hany beberapa jengkal dari cowok itu.

Senja tak ingin membantah. Tak kuasa berdebat pula dengan Adam. Jadi, yang dilakukannya dengan suara bergetar hanya memohon pada Adam untuk mengantarnya pulang. "Anterin gue pulang, Dam!"

Adam mengarahkan pandangan sepenuhnya ke arahnya. Cahaya yang remang mungkin tak bisa cepat menyadari raut wajah Senja yang berubah. "Lo kenapa?" tanyanya.

"Anterin gue pulang! Anterin gue pulang, Dam," tekannya.

Pundaknya yang tertutup lengan dress pemberian Abi dicekal. "Lo kenapa nangis?" Disusul pertanyaan Adam kemudian. Namunn, jangankan untuk menjawab, untuk menarik nafasnya dengan baik pun, Senja kesulitan.

Senja hanya ingin pulang. Itu saja.

"Anterin gue," ujarnya, mulai terisak.

Adam sepertinya tidak rela. Cowok itu menatapnya bingung dengan gelengan pelan. "Tapi ... Abi? Dia udah--"

"Gue mau pulang, Adam. Pulang." Senja menakankannya lagi. Tak ingin dibantah. "Gue nggak peduli sama Abi, gue cuma mau pulang."

Senja sudah sukses terisak. Jadi, demi menghindarkannya dari perhatian orang-orang di sekitar, Adam segera membuka jaketnya lalu menyerahkannya pada Senja. Cowok itu lantas menaiki motornya dan membantu Senja naik.

Sebelum melajukan motornya, Adam meminta tangan Senja dan melingkarkannya ke perut. "Pegangan!" titahnya. Untuk malam ini saja, mereka ingin sama-sama egois.

***

Abi menuruni panggung megah tempatnya memainkan piano beberapa detik lalu. Riuh tepuk tangan yang memenuhi aula tak dapat mengubah ekspresinya yang berubah dingin sejak naik ke panggung. Bahkan setengah dari permainan pianonya yang memukau malam ini, hanya sebuah pelampiasan emosi.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang