Sore Tanpa Senja 29

55 7 4
                                    

Selesai bicara dengan Elang, Senja mendapat pesan dari Maryam yang mengatakan kalau gadis itu ingin datang ke rumahnya bersama Adam. Namun, Senja menolak dan menawarkan pilihan dengan meminta bertemu di tempat lain.

Maryam mengabulkan. Sahabatnya itu lantas memilih tempat dan memberitahu Senja jika Adam datang menjemputnya. Lagi-lagi Senja menolak. Dia akan datang sendiri ke tempat yang dipilih Maryam--untungnya tidak jauh dari rumahnya.

Saat Senja memberitahukan niatnya untuk pergi, Elang sempat melarang. Ayahnya itu memintanya agar beristirahat saja di rumah karena besok dia harus bertanding. Namun, Senja berhasil meyakinkannya bahwa ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan dua sahabatnya itu.

Elang akhirnya menyerah. Membiarkannya pergi meskipun hari sudah begitu sore. Mengganti pakaiannya dalam tempo cepat--berupa sweater rajut coklat muda dan jins berwarna putih tulang--Senja lantas pamit pada ayahnya.

Senja sampai tak lebih dari lima belas menit di tempat yang dikatakan Maryam. Sebuah cafe bernuansa alam yang baru dibuka bulan lalu. Tidak sulit bagi Senja menemukan Maryam dan Adam yang duduk di sudut cafe.

"Hai," sapanya, tak menyangka jika suaranya akan seserak ini. Senja mengulas senyum paksa, berusaha biasa-biasa saja. Namun, ketika Maryam bangkit dan meraihnya dalam pelukan, satu-persatu pertahanan Senja runtuh.

"Maaf," lirih Maryam, melepaskan pelukannya. Mata gadis berhijab itu berkaca-kaca. "Aku tahu garis besar ceritanya dari Adam. Kamu yang sabar, ya!"

Senja hanya mengangguk dan mengulas senyum lemah. Gadis itu kemudian duduk di sebelah Maryam, berhadapan dengan Adam yang sejak kedatangannya, tak mengalihkan pandangan sedikitpun.

"Om Elang udah cerita?" Adam memulai bertanya, yang dibalas Senja dengan anggukan tipis. Helaan nafas Adam terdengar berat setelahnya. Dia berkata, "gue sengaja ngajakin Maryam buat ke rumah lo, buat nenangin lo. Kita khawatir sama lo."

"Gue udah nggak apa-apa."

"Tapi kamu keliatannya nggak baik-baik aja, Senja," ujar Maryam. Gadis itu menatapnya prihatin.

"Setelah Ayah cerita semuanya, gue ... ngerasa sedikit tenang," aku Senja. "Cuma ya ... kalian tahu ini nggak mudah buat gue. Rasanya banyak yang hilang."

Maryam mengusap bahunya. Hampir saja pertahanannya runtuh kembali. Tetapi, Senja bertekad untuk melanjutkannya. "Terutama Abi. Gue emang salah, tapi gue nggak nyangka dia akan semarah itu."

"Aku pengen cerita masalah kamu ke Abi sebenarnya. Tapi, keliatannya dia marah banget. Satupun chat-ku nggak ada yang dibalas." Pengungkapan Maryam sedikit banyak memang menyengat hatinya. Namun, tidak lagi begitu sakit.

"Gue juga salah kemaren malam, gue kebawa emosi."

"Udahlah, lupain aja!" pungkas Senja mengakhiri. "Kita fokus untuk besok aja." Meskipun Senja tidak tahu apa dia bisa sefokus itu besok.

Maryam menimpali dengan anggukan. "Aku bakal coba ngomong ke Abi besok. Siapa tahu dia mau datang."

"Kalau dia nggak mau, jangan dipaksa, ya, Mar. Kondisinya saat ini, gue sama Senja juga salah. Gue nggak mau nambah kemarahan dia nantinya," ujar Adam.

Keheningan menyapa setelahnya. Senja menyetujui perkataan Adam dengan memberikan anggukan singkat sembari menatap ujung meja.

Hingga pesanan mereka sampai, belum ada yang buka suara lagi. Senja tidak memesan makanan apapun. Berdalih masih kenyang, dia hanya memesan lemonade yang langsung disesapnya begitu tiba di meja.

"Besok, semoga semuanya lancar," ucap Maryam, di sela-sela kunyahannya. "Semoga kalian bisa ngelakuin yang terbaik."

"Aamiin. Semoga aja," balas Senja.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang