Sore Tanpa Senja 34

64 7 3
                                    

- Salam perpisahan itu nyata. Ia pergi, sebelum sempat membawa piala berharganya, menemui orang-orang yang dia cinta untuk terakhir kalinya -

***

To: Kak Elang

Kak Elang, Senja sakit.

Aku akan membawanya ke Singapura untuk berobat. Aku gak sempat untuk minta izin karena kondisi Senja sangat kritis.

Nanti Senja akan pulang kalau dia sudah pulih. Tapi aku gak janji. Kalau kondisinya masih sama buruk, biarkan Senja bersamaku, Kak Elang. Biarkan dia hidup lebih layak.

Terima kasih sudah merawat Senja selama ini.

Tha.

Seburuk-buruknya Elang, bahkan dengan cap pria brengsek di belakang namanya, kehilangan Senja adalah hal terakhir yang diinginkan Elang dalam hidupnya. Pria itu bahkan merenung panjang, berharap suatu saat nanti, nyawanyalah yang lebih dulu menemui Sang Pencipta karena Elang terlalu lemah menghadapi kehilangan.

Suatu saat dalam renungan panjangnya itu, Elang berharap bisa menjadi pria yang lebih baik. Pria yang bisa merayu Tuhan untuk memintakan kebahagiaan kepada putrinya, Senja. Jika hari itu tiba, jika dia dipanggil Tuhan menghadap-Nya, dan diberi satu kesempatan untuk meminta, Elang hanya akan meminta satu hal.

Cintai anaknya.

Sebab, jika Tuhan sudah mencintai anak satu-satunya itu, Tuhan juga akan berbaik hati dengan menjaga dan membahagiakannya. Maka jika hari itu tiba, hidup Elang akan damai. Sangat damai.

Namun, sepertinya permintaan dan harapan semacam itu terlalu muluk untuk pria buruk sepertinya. Masalalu hingga masa kininya hanya dipenuhi dosa, dipenuhi hal-hal buruk yang seolah mendarah daging dalam dirinya.

Lantas, apa meminta banyak hal masih bisa disebut pantas?

Elang terpekur lama. Masih belum menerima semua fakta yang dibeberkan Adam padanya. Tidak ada rasa sesak, tidak ada air mata, atau raungan tangis. Yang tersisa setelah cerita panjang Adam soal Senja hanya hening yang menyayat dan kekosongan.

Kosong.

"Kenapa? Kenapa ... Om baru tahu sekarang, Adam?" tanyanya lirih.

Adam dengan mata merah menahan tangis hanya bisa tertunduk lesu. Bibirnya mengatup, membentuk satu garis lurus yang takut-takut dibukanya. Takut-takut menjadi isakan tangis.

"Aku salah di sini," ungkap Maryam, sahabat anaknya yang turut ikut merayakan kesedihan itu. "Aku gak bilang ke siapa-siapa kalau selama ini Senja sakit."

Di kursi tunggu rumah sakit yang dingin, hanya isakan Maryam yang sesekali terdengar. Baik Elang maupun Adam terlalu terkejut dengan informasi yang baru mereka terima.

Tak peduli piala atau seruan Pak Azmi yang memintanya berfoto bersama usai dinobatkan menjadi juara, Adam meninggalkan gedung olahraga Satya Darma dengan jiwa yang setengah kalap. Saat menemui Elang yang setia menunggunya, dan bahkan sempat menanyakan keberadaan anak gadisnya, perasaan Adam semakin kacau.

Adam lantas mengajak Elang ke rumah sakit. Sayang, sesampainya di rumah sakit, Adam dan Elang hanya disambut tangisan Maryam yang terus melafalkan kalimat yang sama. "Senja pergi. Senja pergi, Adam," katanya.

Sore Tanpa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang