Shashi Thanda - Kebebasan

80 16 0
                                    

[ Shashi ]
Kebebasan

[ Shashi ]Kebebasan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••


Tetesan air turun perlahan menghujami bumi, menyapu bersih debu dan polusi di sudut-sudut bagian tanaman juga pepohonan. Gesekan antara rintik air dengan tumbuhan menciptakan gemirisik yang mengusik indra pendengaran. Pelan, ringan dan syahdu yang membawamu ke suasana hati yang mellow.

Tak pernah dilupanya suasana seperti ini. Yang selalu mengingatkannya pada seseorang yang senantiasa mengisi kekosongan hatinya akan sosok seorang ayah. Pria berdarah keturunan Asia. Pria yang memiliki hubungan persahabatan dengan bos dari Asosiasi Body Guard tempatnya bernaung. Pria yang pernah menggantikan peran Ayah di masa lalunya.

“Tuan, saya menerima sinyal darurat dari salah satu rekanan Anda,” ujar salah seorang ajudan dari Tuan Marquis.

“Milik siapa?”

“Tuan Mo,” jawab pria berkumis.

Segera setelah mendapat pesan tersebut Marquis segera menghubungi Mo, sahabatnya. Namun sialnya, nada itu hanya terhubung tanpa ada yang mengangkatnya. Marquis pun segera bergerak mengerahkan anak buahnya untuk segera bergerak.

“Kerahkah garda Elang dan Citah sekarang!” Marquis pun segera bersiap dengan persenjataan yang lengkap.

“Baik, tuan!” jawab George diiringi dengan menekan tombol pada jam tangannya. Tepat pada tombol yang memiliki logo Elang dan juga Citah.

Selang lima belas menit, beberapa unit mobil pun dikerahkan berbaris rapi siap menunggu sang Tuan Marquis untuk berangkat menuju lokasi keberadaan Tuan Mo.

“Sambungkan Aku,” titah Marquis pada George yang kini sudah duduk di kursi samping kemudi mobil; sementara Marquis berada di kursi belakang.

“Anda sudah tersambung, Tuan,” jawab George setelah menyambungkan microfonnya pada pasukan gardanya.

“Dengar, ini adalah misi penyelamatan. Hidup atau mati, aku menginginkan keluarga Mo.”

“Laksanakan, Tuan.” Jawab para garda. Mereka pun mengikuti mobil Marquis dari belakang.

Setelah keberadaan mereka berjarak kurang lebih lima KM, garda Elang mengirimkan tampilan gambar mengenai kondisi yang sedang mereka tuju pada layar monitor yang ada pada setiap mobil untuk mereka mempelajari medan mereka.

Dari tampilan layar itu, mereka bisa memperkirakan berapa jumlah orang yang menjadi lawan mereka nanti. Dan pastinya beberapa informasi kecil tentang siapa yang telah berani mengusik sahabat dari Tuan Marquis.

Marquis terkejut, kala mengetahui siapa biang keladi yang menjadi sinyalir lampu merah miliknya berkedip. Sinyal darurat yang dikirimkan temannya itu, dikarenakan kali ini ia berhadapan oleh Tuan dimana Mo mengabdikan dirinya.

Ada apa dengan pria satu itu?

Setelah beberapa menit, garda Elang mengirim pemandangan di dalam ruangan, sangat mengerikan.

“Percepat laju mobilnya!” titah Marquis yang semakin resah akibat tampilan layar.


***



Hari ini akhirnya tiba juga ...

Hari berakhirnya kehidupan, aku tidak pernah merasa menyesal tentang apa yang mereka lakukan. Karena itu adalah pilihan mereka.

"Apa yang kau lakukan di sini? Cepat menyingkir dari sini, nak." 

"Hiss, aku hanya ingin melihat bagaimana keadaan kalian, paman? Apa itu salah?"

Satu per satu ajudan yang terluka mulai memasuki ruangan dengan dibantu rekanan sejawatnya karena keadaan mereka yang cukup mengerikan dengan beberapa luka.

"Ya, ampun, Shishi, kamu tidak boleh berada di sini. Pergilah ke dapur, bantulah ibumu di sana."

"Tapi, ayah ... Aku ingin tahu bagaimana mereka terluka dan diobati."

"Cukup." Pria itu menarik gadis mungil itu menjauh dari ruang pemeriksaan, pria yang tidak lain adalah ayahnya. "Dengar, sudah sering kukatakan padamu untuk tidak mengganggu pada jam kerja."

Gadis yang dipanggil Shishi itu merengut cemberut tak bisa membantah, satu tarikan paksa memaksanya keluar dari jalan pengetahuan. Tarikan atas nama dibawah umur.

Hal inilah yang paling dibenci Shashi, keterbatasan umur.

Lihat saja, jika pengetahuan saja tidak terbatas bukankah lebih baik mempelajarinya sejak dini.

Shashi tidak pernah merasa ada perhatian lebih dari ayahnya. Dia hanya selalu melihatnya ayahnya sibuk bekerja bersama rekan sejawatnya.

Bekerja, pulang utuh atau pun dalam keadaan bersama luka.

Seolah luka dan pekerjaan itu bagaikan bayangannya sendiri. Mengikuti kemanapun.

Sampai suatu saat, ayahnya pulang dengan keadaan utuh namun tidak dengan jiwanya.

Shashi bahkan tidak menangis, usianya sudah terbilang cukup memahami apa arti dari kematian.

Hari terakhir ia melihat wajah ayahnya, seolah tak menarik baginya. Namun itu juga menjadi hari pertama dari kebebasannya mencari tahu.


"...Shi, hei... Shashi," seruan panggilan berkali-kali mencoba mengambil kesadaran Shashi seolah tak sampai padanya. Sang pemilik suara sampai bosan.

"!?" Satu tarikan cukup untuk menarik Shashi dari lamunannya. "Kenapa kau merebut milikku!?" ujar Shashi seraya melotot tajam.

"Apa?!" balasnya tak kalah sengit mengangkat tinggi permen lolipop milik Shashi. "Apa kau tidak dengar ponselmu berdering, kami sudah memanggilmu untuk melihat ada keributan di salah satu kabin."

Shashi berdecih, kalau saja dia memilih untuk kembali ke ruangan pribadinya tadi. Nostalgilanya pasti akan berlanjut. "Aku mengerti."

Panggilan dari Ryana pun akhirnya dijawab Shashi. Sebenarnya Shashi tidak ingin mengangkat panggilan tersebut karena keributan terjadi di bar milik salah seorang rekanan Elorraine. Mereka memiliki karyawan mereka sendiri. Jadi keributan kecil itu di luar tanggung jawab kerja samanya, kecuali tim keamanan Shashi dipanggil.

"Sudah selesai," lapor Shashi pada pria berkulit gelap yang berdiri di hadapannya. Shashi lekas menaruh kembali ponselnya dalam saku. "Bisa kau berikan permen itu padaku?"

"Tentu." Tanpa peringatan pria itu mengembalikan permen Shashi ke dalam mulutnya. "Jangan melamun saat jam kerja." Pria itu pun pergi dan kembali ke meja kerjanya.


***


Shashi kembali ke kabin pribadinya. Sejak malam pertama kapal Le Wiston The Seas, ia sudah menerima laporan tindak pembunuhan dan hal itu membuatnya harus bekerja lembur. Ia pura-pura tidak tahu di hadapan pembunuh, membiarkan mereka melakukan sesukanya dengan menutupi kejahatan mereka selama mereka tidak menyentuh para bawahannya.

Sebagai bos yang dipercayai, ia tentu memiliki jam kerja yang tidak biasa. Namun, dalam waktu tertentu seperti saat ia merasakan sesuatu mencoba mengusik pikirannya, membuatnya harus kehilangan energi tanpa melakukan apapun. Perutnya akan lebih cepat bergemuruh dan kepalanya serasa ditindihi batu besar.


Tanpa waktu lama Shashi segera memanggil layanan kamar untuk dibawakan beberapa makanan ringan. Segera setelah layanan kamar itu datang, ia menyantap salah satu hidangan yang tersedia dan menyisakan yang lain jikalau ia inginkan lagi. Sekarang bagaimana ia mengatasi kepalanya yang sakit.

Shashi tidak perlu obat atau pijat relaksasi yang disediakan pihak keluarga Zifgrids. Ia seorang sudah cukup mengatasinya. Shashi pun memutar pergelangan tangannya melihat jam tangan yang tersemat pada tangannya.

Jam tangan khas yang dbuat khusus oleh Asosiasinya. Dengan angka romawi I hingga XII dan sebuah jarum yang berputar. Shashi menekan suatu tombol pada jam nya dan membuat layar kaca jam itu terbuka layaknya jendela.

Shashi pun mengambil jarum tersebut dengan tangan kanannya, lalu meletakkannya di meja. Tak lupa ia juga mengeluarkan sebuah pena dari salah satu saku jaketnya dan ia letakkan berdampingan dengan jarum tersebut. Ia pun menarik napas panjang dan memegang denyut nadi di tangan kirinya. Setelah menghitung dan mengkalkulasikan detak jantungnya barulah ia mengambil jarum tadi dan penanya.

Shashi memutar pena tersebut dan keluar ujung pena yang terbuat dari kapas, ia lalu mengoleskan ujung pena pada permukaan kulit pergelangan tangan kirinya lalu juga membasuhkannya juga pada jarum tersebut. Setelah mensterilkannya, Shashi meletakkan pena tersebut dan beralih menyapit jarum tersebut dengan telunjuk dan ibu jarinya. Dengan satu tarikan napas lembut, ia menancapkan jarum tersebut ke permukaan yang sudah ditandainya dan dengan sedikit gerakan memutar.

Ia sengaja membiarkan jarum itu menancap untuk beberapa saat barulah ia cabut. Rasa sakit di kepalanya berangsur hilang setelah setitik darah keluar dari lubang yang tercipta. Shashi pun membersihkannya sama seperti yang ia lakukan sebelumnya.

Entah kapan rahasia miliknya ini akan berpindah, andai saja ia bisa memberitahukan kenangan miliknya, mungkin pikirannya akan terasa ringan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Le Wiston The SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang