Ryana Afoste - Fri(end)ship

95 18 0
                                    

[ Ryana ]
Fri(end)ship

[ Ryana ]Fri(end)ship

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Seseorang terbujur dengan banyak darah di sekitarnya. Kaca-kaca memenuhi lantai putih polos yang dingin, dan angin malam sempurna membekukan hati perempuan remaja itu setelah apa yang dia lihat di sana. Air wajahnya tidaklah berubah, namun mata bersinarnya sudah sepenuhnya padam. Terduduk di samping tempat seseorang itu berbaring, dia mencoba menggenggam tangan penuh darah itu dengan gemetar. Rasanya dingin, dan hatinya remuk, hanya itu. Andai dia berbuat sesuatu, mungkin ini tidak akan terjadi.

“Saya akan menelepon ambulan secepatnya.” Suara pelan dan lembut keluar dari bibir anak remaja itu. Dia masih berusaha menguatkan diri meski tangannya tak berhenti gemetar.

“La-larilah! Kabur darinya ... Lee Anna!”

“Ryana!”

“Oi! Ryana?”

Ryana tersadar kembali dari lamunannya, secara impulsif menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Ah, lagi-lagi dia melamun. Dia seharusnya baik-baik saja setelah beberapa hari menjalani pengobatan atas tangannya. Meski memang bukan luka itu yang menjadi masalah utamanya, tapi efeknya. Ingatan yang ingin dia lupakan tiba-tiba segera kembali menghantui karena itu. Sayatan, darah, dia benar-benar benci itu. Tapi pria tua itu sudah sempurna memanfaatkan kelemahannya untuk memberi hukuman pada Elorra. Saat ini yang lebih mengkhawatirkannya, apakah Elorra baik-baik saja?

“Ah, kita sudah sampai?” Ryana Afoste menyentuh rambut belakangnya canggung. Ada gesekan asing dari yang membatasi tangan dan rambutnya. Sebuah sarung tangan kulit super nyaman menutupi tangannya dan perban di dalamnya membuatnya terlihat menggembul.

“Masuklah! Nona Elorra sudah menunggumu.”

“Baik. Terima kasih!”


***

“Markas rahasia? Ah, jadi seperti itu.”

Perempuan bermata violet itu mengangguk, dengan anggun menyeduh teh hangat di cangkir milik Ryana. Masih belum terlalu siang untuk menikmati secangkir teh hangat. Apalagi, teh ini adalah teh favorit Ryana dengan aroma mawar yang menenangkan. Ryana secara impulsif mengangguk, mengangkat cangkir. Lagi-lagi dia merasakan sentuhan canggung karena sarung tangan. Sesering apapun dia menggunakan sarung tangan saat melukis, dia masih saja tidak terbiasa jika digunakan untuk hal lain. Luka ini lah yang membuatnya harus memakai sarung tangan menyesakkan.

“Mengapa Nona menceritakan ini pada saya?” Ryana berbicara lagi setelah meneguk teh hangatnya.

“Tugasmu berhubungan dengan itu.” Wanita itu tersenyum. “Tapi omong-omong, bagaimana luka di tangan Rya?”

Le Wiston The SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang