Peteduar Renderisies - Ancaman

83 14 2
                                    

[ Pete ]
Ancaman

[ Pete ]Ancaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Katakan, apa hal terakhir yang akan kau lakukan sebelum mati?" tanya Leora, wanita itu berjalan perlahan mengelilingi Pete sembari memegang satu gelas berisi rum yang tinggal setengah.

"Entahlah, mungkin membunuh orang," balas Pete enteng.

Leora membisu sesaat, seutas senyum terbentuk dibibirnya. "Sudah kuduga."

"Apa?" tanya Pete.

"Sudah kuduga kau akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang seperti itu."

"Seperti itu? Ah, apakah kau menginginkan jawaban lain?"

"Tidak, justru jawaban itu yang aku inginkan."

"Perempuan aneh," desis Pete pada Leora.
Leora terkekeh. "Ayolah, semua orang tahu kalau jawabanmu itu realistis! Apalagi kalau mengingat jika hidup kita bukanlah seperti orang-orang kebanyakan yang normal."

"Aku akui memang hidupku dan hidupmu memang tak seindah dongeng atau kisah hidup orang lain, tapi apakah kau tak ingin mati dalam tidur karena sakit? Mati dengan damai."

"Persetan dongeng dan hidup orang, mereka semua membosankan. Apa kau orang yang membosankan juga, Mr. Black?" tanya Leora.

Wanita bergaun merah itu menindih tubuh Pete, duduk di pangkuan pria itu seperti itu adalah hal yang normal. Leora menyesapi rum ditangannya, sesekali dia melayangkan sebuah senyuman disela-sela setiap tegukan. Membuat Pete tak dapat mengalihkan pandangannya barang sedetik pun dari wajah cantik Leora yang berada tak lebih dari sepuluh senti.

"Jika waktuku sudah tiba, aku ingin kau saja yang membunuhku," lanjut Leora sembari tersenyum manis, memamerkan gigi putihnya yang berderet rapih.

"Kita baru saja mengakui perasaan masing-masing, dan kau ingin cepat mati? Yang benar saja." Pete mendengus, lalu dia melanjutkan, "Tak akan kubiarkan kau mati, Nona Leora."

"Well, kalau begitu mungkin kita harus mempertimbangkan untuk mati bersama," lirih gadis ini sambil tersenyum.

"Baiklah, mari mati bersama."

Sedetik kemudian Pete menangkup wajah Leora cepat dan segera menyatukan kedua bibir mereka. Suasana ruangan itu sontak hening tak ada percakapan, hanya terisi dengan suara decahan dan hembusan nafas  dua orang yang tengah memadu kasih. Pete menggigit bibir bawah Leora dengan gemas, melumatnya pelan membuat Leora dimabuk kepayang.

Tak lama kemudian Leora menghentikan kegiatan mereka, ia menaruh kepalanya di pundak Pete dengan tangan kanan masih memegang gelas rum. Beberapa detik lalu dia merasa memiliki seseorang, seseorang yang menyayanginya, namun sekarang dirinya malah takut kehilangan orang itu, dia takut kehilangan Pete.

"Kenapa?" tanya Pete lembut.

"Tak ada, aku hanya--" perkataan Leora terputus saat keduanya mendegar sebuah suara.

Tanpa aba-aba pintu kabin milik Pete terbuka kencang. Seakan ada orang yang masuk secara paksa. Pete dan Leora terkejut mendengar itu, keduanya terperangah kala melihat seorang pria berdiri tepat di depan pintu. Pria yang langsung membuat Pete berdecak kesal.

Denzel, pria jangkung itu dengan segera mengutaskan sebuah senyum, menyeringai dengan kedua tangan yang teracung, lalu pria itu mulai bertepuk tangan. Leora mengibaskan rambutnya agar dapat melihat dengan jelas wajah pria asing yang tengah memberi mereka tepukan tangan.

"Tak kusangka, Mr. Black. Kau tertangkap basah. Biar aku tebak, dia wanita yang tengah mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini bukan?" goda Denzel masih dengan seringaiannya yang menyebalkan.

Pete menghembuskan nafas. "Kenapa kau tidak mati?" tanya pria itu kesal.

Leora segera bangkit dari pangkuan Pete, wanita itu kini berdiri tepat ditengah-tengah Pete dan Denzel, kebingungan dengan situasi saat ini. Siapa pria asing yang tengah berbicara dengan Pete? Dan kenapa dia tampak sangat bahagia sedangkan Pete kesal?

"Siapa kau?" tanya Leora berdiri tak jauh dari Denzel.

Denzel berjalan mendekati Leora dengan lambat, senyum kembali terbentuk diwajah pria ini. "Aku memiliki peryanyaan yang sama denganmu nona muda, siapa kau?" tanya Denzel.

Pete segera menarik lengan Leora dengan cepat agar wanita itu menjauh dari Denzel, lalu Pete berdiri tepat di depan Leora, seakan menjadi tameng supaya Denzel tak dapat menyakiti wanitanya.

"Whoa, tenang-tenang, aku tak akan menyakiti boneka kecilmu," gurau Denzel mengangkat kedua tangannya ke atas saat melihat perlakuan Pete yang seakan melindungi Leora darinya.

"Panggil aku boneka kecil lagi dan mulutmu akan kucabik," ancam Leora garang dari balik tubuh Pete.

Seketika tawa Denzel pecah mendengar ancaman Leora. Bukan pertama kalinya dia mendapat sebuah ancaman dari seorang wanita, namun kali ini lain, perkataan lancang Leora tadi Denzel anggap sebagai lelucon dan itu sangat lucu, apalagi mengingat kalau dirinya sudah menangkap basah Pete.

"Sekarang aku mengerti kenapa kau mengencani wanita ini, aku salut padamu nona." Denzel mencoba menghentikan tawanya.

Pete mendesah kesal, pria itu memutar bola matanya malas. "Apa yang kau inginkan?"

"Ah, sebelumnya maaf mengganggu kegiatan kalian tapi aku harus memberitahumu satu hal penting."

"Hal penting? Apa itu?" tanya Pete.

Denzel membisu, dia malah melayangkan pandangannya pada Leora yang berada di belakang Pete. Pete melirik arah pandangan Denzel, dan mengerti apa yang pria itu inginkan.

"Tidak, dia tak akan pergi kemana-mana," tegas Pete.

"Kalau begitu aku juga tak akan mengatakannya jika dia tak pergi dari ruangan ini."

"Kenapa tidak katakan saja apa yang ingin kau katakan?!" geram Pete.

"Percayalah padaku, kau juga pasti tak ingin hal ini didengar oleh siapa pun, termasuk kekasih barumu itu," jawab Denzel serius, siratan matanya tak mengatakan kebohongan, yang dia ingin katakan memang perihal yang sangat penting.

Leora menghembuskan nafasnya pasrah. "Aku akan keluar, kalian lanjutkanlah pertengakan tak berujung ini." Leora mendorong tubuh Pete pelan, kemudian gadis ini dengan cepat mengambil kotak penyimpanan rokok miliknya yang berada di atas meja.

"Kau tak perlu perlu pergi--"

"Tak apa, sekalian mencari udara segar."

Perempuan itu memakai heels hitamnya yang sempai ia lepaskan. Leora menepuk pundak Pete sekali dan mulai meninggalkan kabin.

Pete menghembuskan nafas berat, pria itu memijat keningnya pelan. "Kenapa?"

"Ini tentang Master."

"Ada apa dengan Master, apakah--"

"Aku tahu siapa orang dibalik Master," sergah Denzel cepat memotong ucapan Pete.

Mendadak perhatian Pete terpusat dengan topik pembicaraan yang barusan Denzel bawa. Master katanya? Tidak mungkin Denzel tahu siapa itu Master, lagi pula bagaimana dia bisa tahu siapa itu Master? Bahkan Pete saja tak mengetahui siapa Master itu sebenarnya, malah terkadang Pete menganghap kalau Master itu hantu, saking misteriusnya sosok Master itu.

"Apa yang kau bicarakan?"

"Pete, aku tahu siapa dalang dibalik semua ini. Pria yang sedari dulu ingin menghancurkan semuanya, dan orang itu adalah orang yang sama dengan orang yang memberikan kita misi ini."

"Lelucon apa ini?"

"Aku tak bergurau, ini serius."

Pete mendengus. "Kalau begitu katakan, siapa sebenarnya Master itu?" tanya Pete.
"Ildepus Zigfrids. Adik kandung dari Ijekiel Zigfrids."

Pete tertawa. "Benarkah?" tukasnya dengan nada mengejek.

"Ildepus berusaha untuk membunuh seluruh keluarga Zigfrids, dia telah mencoba untuk menghabisi seluruh keluarga Zigfrids, tapi gagal, dan dia akan melakukannya lagi," cecar Denzel.

"Tak mungkin Master itu adalah keluarga Zigfrids, itu tak masuk akal."

"Aku tahu, aku tahu, ini semua tampak tak masuk akal bagimu, tapi bagiku semua ini tampak jelas, Master-- ah tidak, Ildepus memiliki motif untuk melakukan ini."

"Ijekiel Zigfrids sudah pasti mencuci otakmu," cetus Pete datar.

Denzel geram, dia menarik kerah kemeja putih Pete. "Aku telah katakan hal yang sejujurnya padamu, Master adalah Ildepus."

"Siapa yang mengatakan hal itu padamu? Ijekiel? Apakah kau gila, Denzel? Pria itu mencoba membunuhmu tempo hari, dan kau mempercayai pria yang hampir saja menembak jantungmu?"

"Aku tak peduli apa yang kau pikirkan tentang diriku, ini adalah kebenaran yang sesungguhnya."

"Kau benar-benar sudah kehilangan kewarasan. Elorra dan para Zigfrids sialan itu pasti telah mencuci otakmu. Kalau begini aku seharusnya membiarkanmu mati saja saat itu."

Luapan emosi langsung menguasai Denzel saat mendengar Pete membawa-bawa nama Elorra. Denzel melayangkan satu tinjuan kencang pada wajah Pete. Membuat jejak merah kebiruan yang segera nampak di pipi bagian kanan pria itu.

Pete menyeringai, pria itu menghapus jejak darah yang keluar dari sudut bibirnya. Dirinya bangkit. Denzel masih belum sembuh total akibat tembakan dan siksaan Ijekiel Zigfrids, tubuhnya bahkan terkadang masih lunglai saat berjalan, dan tentu saja sudah dapat ditebak siapa yang akan memenangkan pertarungan mereka kali ini.

Pete dengan cepat bangkit dan meninju ulu hati Denzel, membuat pria itu tercekat kesulitan bernafas dan terbatuk penuh rasa sakit. Pete melepaskan dasi yang tengah ia gunakan, lelaki itu mulai melilitkan dasi biru dongker miliknya di tangan kanan, menciptakan sebuah sarung tinju dari sebuah dasi.

"Kau tidak cukup pintar untuk datang kemari saat lukamu belum sembuh. Ah, kalau lukamu sembuh pun kau tahu bukan kalau pertarungan ini tak akan imbang?" sindir Pete.

Denzel kembali menyerang Pete dengan pukulan kepalan tangannya namun sayang Pete telah menahan tangan Denzel itu dan Pete menekan dada Denzel yang tedapat luka tembak segar.

Denzel memginjak kaki Pete dan mengantukkan kepalanya pada kepala Pete, membuat Pete mundur ke belakang dengan tangan yang memegangi keningnya.

"Hentikan!" tegas sebuah suara perempuan dari belakang tubuh Denzel.

"Ah nona muda! Kau datang untuk menyelamatkan kekasihmu ini?" Denzel berbalik dan menemukan Leora sudah siaga dengan tangan yang siap mengambil belati dari paha kanannya.

"Kubilang hentikan!"

Denzel terkekeh pelan, apakah kini dirinya tengah terpojok? Sungguh memalukan jika nanti dia mati ditangan dua sejoli ini.

"Leora, menjauhlah, jangan ikut campur," perintah Pete pada Leora.

Wanita itu menggeleng kuat. "Aku tak akan pergi."

Tanpa ada peringatan dengan cepat Denzel berbalik menyergap tubuh ramping Leora, kemudian pria itu mengalungkan lengan kekarkarnya di leher gadis ini. Nafas Leora tertahan, Denzel tengah mencekiknya dengan kuat.

Denzel menyeringai. "Salam kenal Nona Leora, namaku Denzel Miller, senang bertemu denganmu," bisik Denzel di telinga kiri Leora.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Le Wiston The SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang