[ Pete ]
Gamang Peringatan•••
Pete seakan menemukan kehidupan barunya dalam Leora, menjumpai sang harapan melalui tubuh mungil berbalut gaun merah yang berada di depannya kini. Jam waktu berdetak, seperti biasa berputar menuju rutenya, tapi sudah hampir setengah jam Pete hanya terdiam dengan bola mata yang terpaku mengamati wajah Leora yang tengah tertidur. Tampak seperti sosiopat yang meneliti korbannya sebelum dapat dia bunuh, duduk membisu tak bergerak tak bersua.
Perempuan yang terpaut usia tiga tahun darinya itu sepertinya seorang penyihir. Pete bahkan mengira dirinya tidak akan pernah merasakan perasaan ini, menyukai seseorang setelah semua yang terjadi. Leora seakan dapat menyihirnya untuk merasakan hal yang menurutnya aneh itu. Atau jika bukan seorang penyihir, dia pasti ahli sulap, yang tengah melakukan trik-trik magis. Jika bukan keduanya, Pete kehabisan akal bagaimana bisa perempuan ini dapat membuatnya merasakan ini semua.
Dia juga tak mengerti bagaimana bisa semua ini dapat terjadi. Sesuatu yang aneh dia rasakan sejak pertemuan pertama mereka di bar sana. Dan dengan aneh jantungnya mulai berdetak kencang kala pertarungan mereka di kolam tempo hari. Tak hanya itu, dia juga membuatnya selalu terbayang akan sosok gadis bergaun merah ini. Pete memang mengakui dia gila, tapi tidak cukup gila untuk hanya memikirkan satu orang, memikirkan seorang gadis bernama Leora.
Pete melirik jam tangan yang berada di dinding. Dia harus pergi sekarang, kembali melakukan apa yang seharusnya dia kerjakan; pergi melaksanakan pekerjaannya. Pete beranjak dari tempat duduk, bangkit mengambil sebuah jas baru dari lemari dan memakainya. Tangan Pete mengambil satu buah pistol baru juga dari dalam peti kecil berwarna hitam keabu-abuan. Dengan lihai Pete mengisi selongsong peluru cepat bagai seorang profesional.
Setelah peluru terisi sempurna Pete mengarahkan pistolnya ke arah wajah Leora, wajah damai bagai malaikat yang lemah terlelap. Nafas pria ini tercekat sesaat. Telunjuk jari Pete berusaha untuk menekan pelatuk yang seakan sangat keras untuk dihimpit, sesuatu mengekang urat-urat dan ototnya diam tak bergerak. Pete menurunkan pistolnya, dia segera memasukkan pistol itu ke dalam saku jas nya dan beranjak pergi dari sana. Kesimpulan yang dia dapat; Leora memang seorang penyihir.***
"Lama tak bertemu ... Denzel." Pete terkekeh suram sembari meremas bahu Denzel tanpa melepas senyum di bibirnya. Pria itu mendekatkan wajahnya dan berbisik dengan penuh penekanan.
"Jangan pikir aku melewatkan semua yang telah kau lakukan, Denzel. Berhati-hatilah. Mataku tetap ada padamu. Terus mengawasimu. Bahkan mungkin, aku menghitung nafas yang kau keluarkan perdetiknya."
Denzel menaikkan sebelah alisnya, ikut terkekeh mendengar itu. Dia menepis tegas tangan Pete yang masih bersarang di bahunya. "Katakan saja intinya, Mr. Black. Kau terlalu banyak basa-basi. Apa maumu?"
"Tak ada, tidak ada yang kuinginkan Denzel, tenanglah. Santai. Aku hanya ingin mengatakan, Putri Zigfrids itu terlihat ... menggiurkan." seringai aneh penuh ancaman dari Pete membuat suasana seketika menjadi begitu suram, Denzel mengerutkan alisnya berbahaya.
"Jangan coba-coba---" mengetatkan rahangnya, Denzel melanjutkan. "Aku memperingatkanmu."
"Kenapa? Kenapa Denzel? Terlihat begitu marah heh?" Pete perlahan berjalan mendekati pria itu, melontarkan pertanyaan yang membuat Denzel terdiam."Kau menyukainya, bukan?"
"Omong kosong. Setelah beberapa hari tidak bertemu rupanya kau telah belajar begitu banyak omong kosong ya? Cih, aku sangat prihatin untuk itu," ucap Denzel kembali ke tempat duduknya, terlihat santai meski ia tengah gelisah.
"Oh? Seperti itukah, Tuan Denzel? Maka biarkan aku berkunjung ke kabin Elorra malam---"
"Jangan!" Denzel berdiri dari duduknya, menatap tajam Pete dengan emosi yang mulai terpancing.
"Aku mengingatkanmu, Denzel. Jangan pernah kau berpikir untuk menyukainya, apalagi sampai jatuh hati pada putri seorang Zigfrids, target kita. Gunakanlah akal sehatmu," tegas Pete tak membiarkan Denzel ambil bagian.
"Tak perlu berlagak layaknya kau seorang cendikiawan atau sebagainya. Aku tahu itu," balas Denzel geram.
"Ah, kau tersinggung rupanya." Pete terkekeh. "Bukan salahku jika kau menyukainya, Danzel."
"Berhenti menyebutku dengan nama itu, sebelum kepalamu kupecahkan," ancam Denzel.
Pete tergelak, membayangkan seorang Denzel yang keji dan beringas ini takut dengan kegelapan. Walau memang tidak ada yang tahu apa yang telah Denzel lalui hingga dia merasa demikian.
"Apa tujuanmu kemari? Tidak mungkin kau datang hanya untuk mengatakan padaku untuk tidak jatuh cinta. Katakan, apa maumu?" tanya Denzel.
"Sepertinya kau memang ingin mengusirku. Baiklah, aku akan katakan maksudku kemari," desis Pete perlahan berjalan mendekati Denzel. "Aku memperingatkanmu untuk tidak mengkhianati Master."
"Kau melakukannya lagi. Berlagak mengguruiku seperti seorang intelektual bajingan," ketus Denzel.
"Iya, aku melakukannya lagi. Mengingatkanmu tentang misi kita, dan aku akan melakukan itu lagi nanti. Kalau kau tak dapat menjalankan tugasmu ...," gantung Pete.
"Kau--"
"Aku yang akan mengambil alih misi ini dan membunuh Elorra dan keluarganya, atau bahkan aku akan menghabisi seluruh keturunan Zigfrids." situasi berbalik, kini Pete yang mengancam Denzel dengan tatapan tajamnya.
Denzel menatap balik Pete. Matanya berkilat saat Pete mengatakan hal itu, menunjukkan rasa tidak suka dengan apa yang barusan dia titahkan padanya. Suasana diantara mereka berdua sesaat hening, ketegangan diantara keduanya membuat udara di sekitar mereka seakan memberat.
"Aku tahu itu," balas Denzel singkat membuka suara.
"Sempurna! Dengan begini tak ada lagi hal yang harus aku khawatirkan, iya bukan?" Pete tersenyum penuh arti.
Denzel tak menjawab, dia sibuk dengan pikirannya sendiri yang tengah bergumul dengan argumen. Langkag pria ini berjalan menjauhi Pete untuk menuang wine ke dalam gelas miliknya. Dia sengaja hanya menuangkan satu gelas, hanya untuk dirinya sendiri dan tak menghiraukan keberadaan Pete.
"Lalu kenapa kau masih disini?" sarkas Denzel sembari menyesapi wine yang baru dia tuang.
"Kau benar-benar mengusirku rupanya," desis Pete kesal. "Apakah aneh jika aku bertanya tentang-- ah, lupakan." Pete mengusap wajahnya, mencoba menghalau pertanyaan yang hampir saja ia tanyakan pada Denzel.
"Jika ini tentang gadis bergaun merah itu, kau sungguh menyedihkan," hina Denzel telak pada Pete.
"Sudahlah, lupakan saja," gertak Pete mengeratkan rahangnya.
Denzel mengembangkan sebuah senyum simpul di wajahnya. Tebakannya ternyata benar, ini tentang perempuan bergaun merah yang dia sempat lihat tengah bersama Pete di pesta topeng tempo hari. Siapa perempuan merah itu Denzel tak tahu, dan tampaknya dia juga tidak peduli dengan itu. Namun, reaksi Pete barusan sungguh menarik perhatiannya.
Pete mengusap keningnya sekali dan bergegas pergi dari kabin Denzel. Sesaat sebelum benar-benar pergi, pria ini kembali mengingatkan Denzel akan ucapannya tadi.
"Aku memperingatimu, Denzel. Dan ingatlah juga hal yang tadi aku katakan," tukasnya tanpa membalikkan badan dan menghilang dari balik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Le Wiston The Seas
Romance(Romance-Action-Comedy-Drama) Perjalanan menggunakan Le Wiston the Seas akan membuatmu melupakan permasalahan hidup sejenak. Nama kapal yang begitu tersohor membuat semua orang mengagungkan pesiar milik keluarga Zigfrids sebagai kendaraan berkelas y...