De Denzel Miller - Teruntuk Memori Tolonglah Pergi

221 30 17
                                    

[ Denzel ]
Teruntuk Memori
Tolonglah Pergi

[ Denzel ]Teruntuk Memori Tolonglah Pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"Begitu enggan meratapi, tetapi sedih senantiasa merayapi.
Terlalu segan menangis, tetapi tak kuasa menahan ringis."

***


"Ibu?" mata basah itu mengerjap, tarikan nafasnya tersedak meraih ketakutan yang merayapi jemari kecilnya nampak bergetar atau bahkan lipatan aroma tajam obat-obatan yang menggulung di sekitar hidungnya. Gelaran bentala di luar sana telah memancing ruahnya gertakan gusar halilintar bersama hebatnya dawai hujan yang tak ternada pada garis nabastala yang muram di sisi rembulan.

Sepatunya masih melekat di lantai-lantai yang telah terusik berkali-kali oleh kerasnya cairan pembersih dan desakan langkah yang menggiring kepanikan, saat para tenaga medis terhuyung hampir merobohkan tubuhnya tatkala suara-suara yang berkoar menyelinap permohonan datang lebih banyak lagi di sepanjang lorong koridor.

Dari balik pintu yang bersangsi bisu itu, terpekur seorang anak lelakidengan kisaran usia 5 tahun. Irisnya tak lepas dari penglihatan akan suasana sembilu yang membuat langkahnya tak ingin maju lebih dekat untuk mendengar semakin eratnya jerit putus asa di dalam ruangan itu.

"Buka ... buka matamu Ryselin! L-lihat, lihat aku! Kau tidak boleh begini Elin, mereka sudah lahir ... kau sudah berjanji padaku." Pria itu-Ayahnya. Terlihat mengguncang berantakan tubuh kaku di atas brankar itu, seolah kehilangan kewarasannya. Berteriak keras, hampir memutuskan pita suaranya.

Potongan kenanganmemperkosa harap, kawanan kata rindu lalu lalang melintas menebas seri di wajahnya. Temu telah menjadi perpisahan, nadi telah mengering, tak ada merah mengairi yang mati dan tak ada denyut dari yang pergi, kehilangan seseorang yang sangat berarti bukanlah sesuatu yang ingin ia hadapi. Ia marah, marah sekali.

"A-apa yang t-terjadi? Kenapa Ibu menutup matanya? Dan kenapa Ayah menangis? I-ibu kan hanya tertidur .... " tidak, anak itu tidak sanggup mendengarnya lagi, apakah Tuhan memang berniat memecahkan gendang telinganya? ia hanya ingin menutup matanya. Menutup telinganya, jauhkan tubuh kecil rapuhnya dari kekacauan di dalam sana. Dari hatinya yang meracau, dan dari akalnya yang tak menolak kesedihan menguasai jiwanya.

Menggeleng penuh akan ragu, langkahnya beringsut mundur menjauhi pintu. Tersandung kakinya sendiri, jatuh terduduk meratapi ngilu kala pantatnya mendebam lantai. Tanggul seakan tak cukup kukuh tuk menahan gebrakan air di pelupuk mata madunya, anak lelaki itu menangis. Bersandar di kakunya tembok rumah sakityang berkelakar atas kepura-puraannya. Mengejeknya, memojokkannya.

Kursi-kursi kosong itu, lorong yang sepi dan derai lara yang masih tertangkap jelas tak lagi mampu menembus dinding luka di hati sang anak. Wajahnya hanya terbekap di balik lututnya sembari memeluk menuntut hangat dari dinginnya air duka yang membasahi raganya. Hancur, memang tak cukup mewakili atmosfer saat ini.

Le Wiston The SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang