Karena tak ingin berlama-lama menunggu Leon yang melakukan hal aneh, Sharon memilih untuk berjalan pulang lebih dulu. Hatinya masih menyimpan kekesalan. Jika saja bukan dia yang memulai, mereka tidak perlu membuat kesan buruk dengan membicarakan siswa berwajah oriental itu tepat di depannya. Begitulah pikir gadis bermanik kemerahan itu.
Ia mendengus kesal sambil memandang para siswi yang katanya adalah fans Sebastian. Menurut Sharon, pemuda itu sangat pantas mendapatkan perlakukan istimewa. Fitur wajah yang merupakan ciri khas para keturunan Asia tersebut membuatnya terlihat lebih menarik dari lelaki lain. Tetapi maniak teori konspirasi itu saja yang terlalu berlebihan.
Sharon berjalan perlahan dengan pikiran melayang ke mana-mana. Jika dia ingat lagi, waktu yang dia habiskan bersama teman kecilnya tidak ada yang benar-benar menyenangkan. Semua diwarnai dengan perdebatan serta pertengkaran sebab sifat Leon yang dingin dan keras kepala. Akibat lamunan singkat itu, ia tidak memerhatikan jalan. Wajar saja beberapa detik kemudian tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.
"Ah, aku tidak sengaja. Sungguh," sesal Sharon sambil menangkupkan kedua tangan dengan mata terpejam. Orang yang baru saja bertabrakan dengan gadis itu mengerang pelan setelah jatuh dengan keras ke lantai. "Aku benar-benar minta maaf," ucapnya kemudian membuka mata perlahan.
Ia sungguh terkejut melihat wajah orang yang sibuk memunguti barang bawaannya itu. "Se-Sebastian Hoover!" jerit Sharon spontan, lalu menutup mulut dengan telapak tangan. Dia berjongkok kemudian membantu lelaki itu mengumpulkan folder yang tercecer. "A-aku ... benar-benar minta maaf. Dan ... s-soal kejadian tadi ... maafkan aku, dan juga teman-temanku." Mendadak, dia menjadi sangat gugup.
Sebastian menatap gadis di hadapannya lamat-lamat. "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah mau membantuku," senyumnya. Satu hal yang tidak disadari oleh siapa pun. Sebastian memiliki perasaan lembut yang membuat dia tidak tega menyimpan dendam. Terlebih jika orang itu meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
Sharon sangat senang mendengar respons Sebastian dan berbicara cepat tanpa jeda. "Sungguh?! Terima kasih banyak. Panggil saja aku Sharon. Dan soal Leon, aku sudah berusaha keras. Tetapi dia masih saja bersikap begitu pada orang asing. Jadi ..., tolong maafkan dia."
Lagi-lagi, dia hanya tersenyum tipis. "Tidak masalah. Aku sudah sering mengalami perlakuan semacam itu sebelumnya," ujar Sebastian menenangkan. Meski untuk hal yang satu itu, dia tidak bisa berbohong soal hatinya yang masih jengkel. Terlebih ketika dirinya dibuntuti sampai ke toilet.
Sharon memunguti selembar dokumen yang keluar dari foldernya. Dia mengernyit bingung. Dia membolak-balik, mencium aromanya, serta mengarakannya pada seberkas cahaya matahari yang melewati dinding kaca. Namun, dia masih saja tidak mengerti soal benda yang dipegangnya. "Ngomong-ngomong, benda ini ... apa namanya?"
Karena sudah bisa menebak apa yang ditanyakan, Sebastian menjawab tanpa menoleh. "Ini semua dokumen lama milik Kepala Akade-"
"Bukan. Maksudku, benda tipis ini disebut apa?" sambar gadis itu. Sharon tentu tahu jika semua itu adalah dokumen penting.
Sebastian memasang ekspresi datar. Hampir saja ia kehabisan kata-kata karena situasi mengherankan yang terjadi di hadapannya. "Itu kan kertas," jawabnya pendek. Sharon mengerjap-ngerjap, tampak begitu kagum dengan benda yang dipegangnya sejak tadi. Pemuda itu sungguh tidak mengerti. Bagaimana bisa seorang remaja perempuan yang sejak kecil tinggal di kota tidak tahu apa-apa tentang kertas?
"Ini ... benar-benar menakjubkan. Keren! Sepulang dari akademi nanti aku akan langsung menulisnya di catatan harianku. Hari ini, aku melihat kertas, bahkan meraba teksturnya secara langsung," serunya dengan mata berbinar. Persis seperti reaksi seseorang yang menemukan fosil dinosaurus satu abad sebelum mereka.
Sebastian menghela napas, terkekeh pelan melihat tingkah gadis itu. "Kau benar-benar mirip dengan sahabatku, Carla. Sikapmu membuatku teringat padanya." Sharon yang masih belum bisa mengobati perasaan takjub yang luar biasa itu menoleh penasaran. "Setiap mengingatnya, selalu saja aku ingin pulang sesegera mungkin," ungkapnya.
Sharon menyerahkan tumpukan folder yang baru selesai ia rapikan. "Sebastian Hoover." Dia menyentuh lengan lelaki itu. "Kami mungkin tidak bisa menggantikan posisi sahabatmu. Tapi, bukankah tidak ada salahnya kita berteman? Aku yakin mereka akan menerimamu dengan senang hati, Sebasti-" Ucapan Sharon seketika terpotong.
"Hwaaa ...!" Sebuah jeritan terdengar nyaring bersamaan dengan tubuh Sharon yang tertarik ke belakang. Sebastian yang ikut terkejut menoleh. Bukan karena kejadian di luar nalar, atau keberadaan makhluk tak kasat mata yang dipercaya nenek moyang mereka. Melainkan ulah orang yang sangat ia benci keberadaannya beberapa hari terakhir, Leon.
"Ah, kita bertemu lagi, Mr. Hoover," Leon berucap dingin. Sementara, tangannya masih saja mencengkeram kerah seragam teman kecilnya. Sebastian berdecih pelan, mengepal geram, kemudian bangkit membawa tumpukan folder. Saat ini, dia sangat enggan berbicara dengan maniak teori konspirasi itu.
"Kau punya rambut hitam dan mata sipit yang menawan. Dan aku sangat menyukai itu," ujar Leon. Tentu saja dengan maksud yang sudah diputar balikkan dari konteks sebenarnya. "Selama ini, semua berjalan normal. Saat sebuah kejadian buruk menimpa tempat ini, mencurigai satu-satunya orang asing ... adalah hal wajar bukan."
Sebastian tidak mau tinggal diam. Baginya, kalimat itu sama saja dengan menghina seluruh golongan minoritas. "Menggelikan sekali. Kalian orang kota ... seperti orang tak berpendidikan saja. Masih berpikir bahwa golongan kalian yang mayoritas benar-benar superior. Aku sungguh muak dengan pemikiran kalian yang masih memegang budaya rasisme," ujar Sebastian tanpa intonasi, kemudian berbalik tanpa sepatah kata.
Leon mendengus. "Sharon, cepat cuci tanganmu," titahnya sambil melepas cengkeraman pada kerah seragam gadis itu. Untuk pertama kali, Sharon tidak protes. Pikirannya justru tertuju pada benda yang diam-diam digenggamnya sejak tadi. Hal itu membuat Leon merasa ada hal aneh.
"Pil apa sebenarnya ini?" gumamnya. Dengan segera, Sharon menyembunyikan benda yang dia curi dari Sebastian di dalam tas. Nanti saja kuselidiki, pikirnya sambil berusaha keras menghindari tatapan tajam Leon.
Sharon sadar, jika teman kecilnya itu sampai tahu, dia pasti akan merebutnya. Entah apa yang baru saja merasuki otaknya, sampai-sampai rela melakukan semua itu. ia berbisik pada diri sendiri, "Maaf, Leon. Aku akan berusaha melindungi Sebastian. Aku berjanji."
*
30 Desember 2020, 17:03 WITA.
Di masa depan, keberadaan kertas mungkin menjadi barang langka. Jadi, manfaatkan kertas dengan bijak ya 😊.
Kenapa pace cerita ini malah jadi lambat banget? Padahal aku harus kejar target tiga ratus hari 😭.Oke. Aku akan usahain bab depan udah nunjukin situasi chaos, dan akan ada beberapa time skip.
Jangan lupa vote dan comment-nya 😄.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...