Dalam beberapa hari, kekacauan dengan cepat menyebar ke mana-mana. Di berbagai tempat, terjadi ledakan kepanikan yang menyebabkan masyarakat berbondong-bondong menyerbu berbagai tempat perbelanjaan. Meski bisa dilakukan secara online, mereka tetap melakukannya secara langsung, khawatir akan kehabisan stok barang.
Para polisi militer -- yang delapan puluh persen bukan manusia -- pun terpaksa turun tangan mengamankan berbagai lokasi. Akan tetapi penularan sudah telanjur terjadi dalam jumlah besar. Sehingga, rumah sakit dipenuhi orang yang terinfeksi virus. Pasien lain yang terpaksa mengalah satu persatu mulai ikut tertular. Para tenaga medis yang mengalami kelelahan parah juga banyak yang ikut menjadi korban.
Karl sedikit banyak sudah mulai melupakan kesedihan yang sebelumnya membuat ia tersungkur di lorong rumah sakit. Dia juga mulai terbiasa dengan prosedur pemasangan alat bantu pernapasan. Ia tampak jauh lebih tegar meski melihat kematian pasien di depan mata yang melonjak lima belas kali lipat dibanding waktu itu. Meski tak bisa dipungkiri, kepergian rekan kerjanya telah membuat pria itu merasa sangat terpukul.
Walau tidak ada pemberitahuan tentang libur, siswa Krypton Academy tampak berkurang. Entah karena mereka ikut tertular, atau karena kepanikan yang menyebar lebih cepat daripada virus tersebut. Yang pasti, hal itu sudah cukup untuk membuat Leon semakin curiga dan berkali-kali melabrak Sebastian secara langsung.
Presiden segera mengambil tindakan dengan memberi perintah evakuasi, serta ancaman bagi siapa pun yang mencoba menentang. "Semua ini demi umat manusia," kalimat itu sangat sering ia ulang dalam pidatonya. Namun, meski sudah berusaha keras, tim penyelamat tak bisa mengevakuasi semuanya sekaligus dalam satu waktu.
Hari ini, tanggal 9 Oktober 2120, merupakan puncak dari semua kerusuhan tersebut. Tepatnya di Distrik 209 mendapat giliran terakhir karena dinilai cukup aman dengan angka kasus positif paling rendah. Sekarang situasi tersebut malah berbalik 180 derajat. Ribuan warga yang sebelumnya tampak sehat mulai menunjukkan gejala parah. Dan entah kebetulan atau bukan, Distrik 209 adalah tempat tinggal Celine dan sahabat dekatnya.
Karena tidak mendapat pemberitahuan apa pun dari akademi, keduanya bersiap-siap berangkat sejak pagi. Akan tetapi, tepat sebelum Celine membunyikan bel pintu rumah tetangganya, terdengar sebuah alarm gawat darurat dari petugas penyelamat. Cyril seketika langsung membuka pintu keluar seraya menyambar lengan gadis itu kemudian menariknya pergi.
"Tidak usah cemas. Ayah dan ibuku sudah pergi sejak pagi buta. Dan kita tidak perlu pergi ke akademi mulai hari ini, dan sampai waktu yang tidak ditentukan," jelas Cyril sebelum ditanyai. Perpaduan antara sirine kendaraan petugas dengan sayup-sayup teriakan mereka membuat jantungnya berdegup kencang. Namun, pemuda itu dengan cepat mengajak sahabatnya menuju ke garasi tempat sepeda hidrogen terparkir sambil berusaha untuk tetap tenang.
Akan tetapi, langkah mereka terhenti ketika melihat sebuah bangkai mobil yang tampak hancur setelah berbenturan dengan dinding kaca tebal garasi. Melihat tubuh si pengemudi yang tampak pucat dan tak sadarkan diri membuat Celine hanya bisa menutup mulut. Dapat dipastikan, wanita itu kehilangan kesadaran saat mengemudi sehingga mobil miliknya menabrak rumah Cyril.
Cyril berpikir keras. Nekat masuk lewat dinding garasi yang hancur bukan langkah yang tepat. Wanita itu juga tampak sudah terinfeksi. Sehingga, mendekatinya merupakan pilihan paling gila. Lagi pula, sepeda hidrogennya mungkin sudah ikut hancur. Satu-satunya cara terbaik untuk menuju mobil petugas penyelamat adalah dengan berlari melintasi sepertiga kota yang hancur seperti terkena gempa bumi.
Diraihnya pergelangan tangan Celine kemudian berlari menjauhi rumah. Beberapa tenaga medis berpakaian serba putih membopong tubuh warga yang tak berdaya satu persatu ke sebuah transportasi sejenis helikopter. Sementara yang lain ikut melakukan hal yang sama seperti dua orang remaja tanggung ini. Jalanan kota yang biasanya menjadi jalur terbaik untuk bepergian dengan trem kini dipenuhi oleh api dari ledakan mobil terbang yang terjatuh dari ketinggian.
Celine bersusah payah mengikuti langkah lelaki itu agar tidak tertinggal. Daya tahan tubuhnya tidak terlalu kuat. Sehingga, belum setengah perjalanan napasnya sudah terengah. Ditambah dengan kekacauan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat dia semakin tidak mengerti situasi.
Kedua manik birunya hanya terfokus pada puncak kepala Cyril yang seolah semakin menjauh, walau cengkeraman pada tangannya masih belum terlepas. Tarikan napas semakin berat. Sehingga, dia tak sempat berpikir tentang benda-benda yang tiba-tiba membuat kaki tersandung.
Celine meringis saat tubuhnya terhempas gravitasi. Pecahan kaca dari dinding bangunan menusuk telapak tangan serta lutut cukup dalam. Ngilu, hanya itu yang dapat ia rasakan sementara telinganya mulai terbiasa dengan suara keras dari kendaraan yang menabrak gedung karena para pengemudi kehilangan fokus.
Cyril tersentak kaget ketika merasakan tangan yang dia genggam terlepas begitu saja. Ia berlari menjemput kembali sahabatnya yang hanya bisa terduduk dengan darah mulai menodai kaus kaki putih yang dikenakan. Merasa tidak ada waktu untuk sekadar memberikan pertanyaan bodoh seperti "Apa kau tidak apa-apa," pemuda itu menggendong Celine tanpa memikirkan tubuhnya yang mungkin tak sekuat laki-laki berusia enam belas tahun.
Gadis itu melingkarkan kedua lengan di punggung laki-laki itu. Pecahan kaca yang dia cabut dari telapak tangan beberapa saat sebelumnya membuat darah mengalir semakin deras dan mengotori seragam Cyril. Sakit sekali memang. Akan tetapi, hanya itu yang bisa dia lakukan sambil menahan tangis agar temannya tidak menaruh kekhawatiran berlebih.
Jantung Celine bagaikan behenti berdetak saat melihat sebuah mobil jatuh tepat beberapa meter di hadapan mereka. Untungnya, Cyril sudah bisa memperkirakan hal tersebut hingga memperlambat kecepatan lari dari beberapa detik sebelum kejadian nahas tersebut benar-benar menimpa mereka. Namun, karena halangan tersebut, pemuda itu terpaksa memutar arah agar bisa sampai ke mobil milik petugas medis di depan gerbang distrik.
Cyril bernapas lega sambil menurunkan tubuh Celine di atas brankar yang kemudian dibawa beberapa orang dokter. Salah seorang di antara mereka memandangi kedua anak muda itu, memastikan jika mereka tidak memiliki gejala serius, lalu memutuskan untuk membawa mereka ke mobil yang berbeda dengan pasien terinfeksi.
"Kalian beruntung karena bisa selamat. Kami kesulitan mengevakuasi karena mendapat perintah dari pusat, setelah muncul beberapa laporan tentang mobil petugas bertabrakan dengan kendaraan yang kehilangan kendali," salah seorang petugas di mobil itu menjelaskan. Cyril yang sudah menduga hal ini akan terjadi hanya mengangguk samar, kemudian tersenyum puas ke arah sahabatnya yang mendapat pertolongan pertama.
Celine berteriak saat seorang perawat mencabut pecahan kaca di lutut dan betis sebelum membersihkan lukanya. Napasnya masih belum stabil, terlebih setelah melihat mobil yang hampir jatuh mengenai mereka. Mengingat kejadian itu, dia sangat ingin mengucapkan terima kasih secepat mungkin.
Cyril melirik benda yang tertanam dalam pergelangan tangannya. Sebuah panggilan masuk mengeluarkan getaran pelan. Tanpa pikir panjang, ia pun segera berbalik lalu berjalan menjauh untuk menerima telepon. Seolah-olah percakapan tersebut adalah hal yang sangat rahasia dan tidak boleh didengar siapa pun.
Bayangannya yang menjauh perlahan berubah samar. "Cyril, tunggu aku," lirihnya dengan pandangan sayu. Akan tetapi, punggungnya terus menjauh hingga menghilang dari jangkauan penglihatan Celine. "Tolong ... jangan pergi dulu."
*
5 Januari 2020, 09:28 WITA.
Jangan lupa vote dan comment-nya 😊.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...