22nd Light: We Will See It Tomorrow

37 16 23
                                    

Embusan napas panjang mengakhiri proses melelahkan yang dilalui Celine demi menyelesaikan penugasan akademi. Ia membaringkan diri di atas tempat tidur sambil mengenang semua hal yang bisa dilakukan selama tinggal di permukaan bersama kakak serta sahabatnya.

"Oh ya, Cyril." Ia mendadak teringat pada wajah pemuda itu. Apa yang dilakukannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Celine tidak bisa berhenti cemas kalau mengingat seberapa antusias dia saat menemukan hal yang menarik minatnya. Bahkan meskipun itu adalah hal yang sangat berbahaya.

Beberapa hari berlalu. Tidak ada kabar sama sekali. Cyril bahkan tidak pernah hadir dalam setiap kelas. Celine tidak terbiasa dengan jarak seolah yang mulai merenggang. Padahal dulunya, setiap malam mereka selalu kompak mengubah pengaturan dinding kaca menjadi jernih agar bisa sesekali melihat satu sama lain melakukan kegiatan. Celine belum mengerti tentang betapa berharganya kenangan sederhana itu, atau tentang perasaan yang kini membuat hatinya diliputi kerinduan.

Celine menatap langit-langit dengan mata yang tampak kosong. Seolah jiwanya telah pergi berkelana mencari kepastian. Alat komunikasi di ruangan tersebut memang lebih dari cukup untuk membuat siapa pun terkoneksi dengan seluruh dunia. Namun, keraguan yang lebih besar menghambat gadis itu untuk menggunakannya.

Ia takut hal itu akan membuat teman kecilnya terganggu. Takut mendapatkan respons negatif, takut jika dirinya malah membuat masalah, takut Cyril akan mengabaikan. Dan sejuta ketakutan yang tidak bisa ia jelaskan satu persatu. Meski begitu pahit, diam dan menunggu kabar langsung dari lelaki itu akhirnya merupakan keputusan yang diambil Celine.

Tanpa terasa, jam telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas malam. Celine menguap lebar kemudian bermaksud untuk segera tidur. Akan tetapi, baru saja ia hendak beranjak, sebuah alat yang tertanam di pergelangan tangannya mengeluarkan getaran samar. Sebuah panggilan masuk.

Tak perlu berpikir dua kali, ia memasang airpods di telinga, kemudian menyentuh ikon answer. Khawatir mengganggu Sharon yang sibuk dengan kegiatannya sendiri, ia berjalan agak menjauh ke sudut ruangan.

"Halo, Celine. Apa aku mengganggumu?" Sapaan hangat yang terdengar jernih dari si penelepon membuat perasaan senang membuncah dalam dada. Celine menutup mulut dengan kedua tangan seraya melompat kegirangan. Tanpa memedulikan tatapan heran Sharon.

"Tidak sama sekali. Aku justru senang sekali kau akhirnya menghubungiku," ujarnya. Ia sudah tidak sabar ingin bercerita banyak hal pada sahabat kecilnya itu. Seperti dua orang yang terpisah bertahun-tahun lamanya. Ya, bagi Celine beberapa hari tanpa kabar sudah cukup mengganggu.

"Maaf aku baru sempat menghubungimu sekarang. Waktu itu, aku terpaksa meninggalkanmu di mobil petugas. Ada hal penting yang membuatku tidak sempat pamit." Celine menggeleng kuat-kuat. Tidak perlu minta maaf, itulah yang ingin ia sampaikan melalui bahasa tubuh tersebut. Tanpa sadar, setetes air telah membuat sudut matanya basah.

"Bagaimana menurutmu tentang tempat ini? Apa kau tidak rindu pada Kak Luna?" ia mencoba untuk berbasa-basi. Sebab respons barusan membuat Cyril paham jika gadis itu sedang merasa senang atas telepon dari dirinya. Tentu saja membahas hal berat bukan hal yang cocok untuk dilakukan pada saat seperti ini.

Celine menggeleng antusias, meski ia tahu laki-laki itu tidak akan bisa melihatnya. "Kak Luna menghubungiku setiap pukul tujuh sore. Walaupun hanya untuk bertanya apakah aku sudah makan, dan bagaimana kelas hari ini. Aku sangat senang dia masih meluangkan waktu untukku," ungkapnya.

"Dia benar-benar kakak yang baik, ya." Celine mengangguk mantap. Memiliki seorang saudari seperti Luna benar-benar cukup untuk memberi ia rasa bahagia. Bahkan, membuatnya hampir lupa jika kedua orang tuanya telah pergi sejak dia masih berusia belia.

[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang