23rd Light: What Happened Over There?

41 16 29
                                    

Karl menyandarkan punggung yang pegal di pada kursi. Sudah beberapa hari sejak ia menjalani "pekerjaan baru", tubuhnya terus-menerus merasa lelah. Memang jika dibandingkan dengan tugas piket selama 24 jam penuh tanpa makan atau istirahat -- hanya bergantung pada obat stimulan yang dirancang khusus -- sekarang jauh lebih baik.

Setiap hari dia hanya bertugas memantau keadaam pasien yang dirawat di atas permukaan di depan layar komputer, serta memastikan alat penyokong bekerja dengan baik. Itu untuk mencegah terjadinya malfungsi akibat ketidaksempurnaan dalam beberapa unit alat medis yang dibuat terburu-buru, seperti beberapa hari sebelumnya.

Ia hampir jatuh tertidur sebelum beberapa orang dokter lain yang seangkatan dengannya menghentak keras saat memasuki ruang istirahat. Karl hanya mengintip sedikit, lalu kembali memejamkan mata. Kelelahan yang dirasakan membuat dia malas membuang waktu dengan melayangkan protes seperti kedua rekannya.

"Aku lama-lama tidak tahan dengan semua ini. Bisa-bisanya mereka tidak percaya, mengatakan kita hanya makan gaji buta. padahal kalau saja seluruh dunia kompak menuruti imbauan pemerintah, kita takkan perlu terjebak di tempat tanpa sinar matahari ini." Keluhan tersebut menyebabkan Karl yang hampir tenggelam dalam tidur singkat itu kembali terjaga penuh.

"Jika tidak berada di posisi kita, mereka semua tidak akan mengerti seberapa beresiko pekerjaan tenaga medis dan para peneilti. Benar, kita akan lebih cepat mati karena kelelahan daripada virusnya. Sungguh keterlaluan kalau mereka menunggu hal itu terjadi baru akan sadar."

Pria itu segera memperbaiki posisi duduk, memijat pelipis dengan ibu jari. Dengan mata yang sedikit memerah ia memandangi mereka lamat-lamat. Percuma saja ia mencoba tidur kalau waktu istirahat yang hanya dua setengah jam itu sudah dirusak oleh keluh kesah kedua rekannya.

Salah seorang yang duduk paling dekat dengan Karl berujar, "Semua ini karena mereka masih memegang pemikiran orang pada zaman dulu, mengira semua ini adalah bagian dari rencana busuk sebuah organisasi atau apalah. Yang benar saja. Memangnya mereka tidak lihat berapa banyak korban yang bertambah setiap hari?"

"Memang kalau dipikir-pikir, bagaimana bisa cara ini efektif kalau hasil pemeriksaan tidak akurat? Beberapa hari sejak karantina ini dimulai, ada saja warga sipil yang terdeteksi oleh kamera di setiap ruangan mulai menunjukkan gejala. Bagiku memindahkan mereka ke ruangan bawah tanah sama saja dengan menyiapkan kuburan untuk diri sendiri," sahut yang satunya lagi.

Karl menghela napas panjang, kembali merebahkan diri di atas kursi yang bisa berubah posisi dengan sendirinya. Mendengar ocehan mereka tidak akan memberi manfaat apa pun. Matanya menerawang langit-langit dengan kesadaran yang tinggal setengah. "Ah, aku sudah lelah hidup, tetapi belum mau mati."

------x---x------

"Hai, aku kembali. Bagaimana kabar kalian?" Nada datar dalam pertanyaan tersebut benar-benar tidak terdnegar seperti orang yang sedang ingin berbasa-basi. Sambungan virtual reality call cukup stabil hingga bayangan hologram Leon tampak jelas tanpa adanya gangguan.

Gadis bermanik kemerahan itu melipat kedua tangan di depan dada, enggan menyahut meski sepatah kata. Meski semalam Celine mati-matian membujuk Sharon untuk percaya dan bekerja sama, tampaknya itu sama sekali tidak berpengaruh. Di matanya, Leon tetap terlihat seperti makhluk aneh maniak dari planet lain.

"Aku baik-baik saja, Sharon juga. Bagaimana denganmu?" balas Celine, mewakili jawaban teman sekamarnya yang tertahan di dalam hati. "Ngomong-ngomong, tumben sekali kau mau berbasa-basi seperti ini."

Leon menggeleng. "Tidak. Di masa seperti itu, kalimat itu sangat penting. Bukan lagi basa-basi," sanggahnya. Celine tertegun, segera mengerti dengan maksud tersirat dari penjelasan tersebut. "Tetapi, terima kasih sudah mau bertanya. Aku juga baik-baik saja. Setidaknya ..., untuk sekarang."

[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang