"Anda memanggil saya, Miss Rachel?" Cyril melongok lewat pintu ruangan yang sedikit terbuka. Wanita itu mengangkat wajah, kemudian menjawab sebuah anggukan. Sekaligus mengisyaratkan agar pemuda itu segera masuk.
Miss Rachel melipat kedua lengan di atas meja kerja. "Kamu sudah membaca pesan saya?" Laki-laki itu mengangguk pelan. Sang guru pun menghela napas panjang. "Barangkali kamu belum benar-benar mengerti. Biar saja jelaskan sekali lagi. Ini adalah masalah yang cukup serius."
"Dunia kehilangan banyak tenaga ahli dalam riset panjang mengenai virus ini. Dikhawatirkan tidak ada lagi yang bisa menggantikan tugas mereka. karenanya, Asosiasi Dokter Nasional baru saja mendapat izin dari Kementerian Kesehatan Global untuk merekrut tenaga ahli dari siswa unggulan di seluruh dunia. Tentu saja, mereka akan memberikan semacam pelatihan.
"Soal tes minggu lalu adalah seleksinya, kamu mendapat nilai tertinggi. Tetapi sekarang semua tergantung pada keputusan siswa itu sendiri. Asal kamu tahu saja. Universitas terbaik dari seluruh dunia bisa saja memberimu undangan untuk masuk jurusan virologi nantinya. Tetapi, konsekuensinya jika terjadi kesalahan ... tentu saja adalah nyawamu."
Cyril meneguk ludah, tetapi sebisa mungkin tidak menampakkan kekhawatiran itu di depan guru biologinya. "Saya mengerti, Miss. Dunia dalam keadaan darurat, mana mungkin saya diam saja. Ini adalah kesempatan. Saya sanggup, walaupun itu artinya kesempatan untuk melihat hari esok menjadi lebih kecil."
Miss Rachel terdiam cukup lama melihat jawaban yang benar-benar menggambarkan keteguhan hati anak didiknya itu. "Jadi, kamu serius dengan keputusan itu." Cyril menantapkan hati untuk tak mengubah keputusannya.
Ya, dengan senang hati.
------x---x------
Cyril tak menyesal. Sama sekali tidak. Meskipun keputusan buru-buru itu telah membuatnya menjadi salah seorang yang harus mendekam dalam laboratorium sepanjang hari, dengan waktu istirahat hanya lima jam dalam sehari dengan makanan yang hanya cukup untuk menahan rasa lapar.
Pemuda itu memandangi telapak tangannya yang kini hampir sepucat mayat, sedangkan lingkar lengannya tampak mengecil. Tubuhnya yang sejak lahir memang sudah lemah bisa saja kolaps sewaktu-waktu karena kurang istirahat serta nutrisi. Dia memijat kepala yang terasa pening.
Memutar waktu pun rasanya percuma. Depresi yang dialaminya bisa jadi justru semakin parah dengan kabar wafatnya sang ayah, ditambah dia tak bisa mengetahui informasi apa pun secara bebas karena situs web telah dibatasi server agar tak bisa diakses sembarang warga sipil.
Dia menarik napas panjang, lalu berjalan menuju kamar yang khusus disediakan untuk para petugas dengan kapasitas tiga orang. Kini hanya tersisa dirinya di sana, sedangkan yang lain telah pergi terlebih dahulu menyusul para senior mereka sebelumnya beberapa waktu lalu. Cyril merebahkan diri di atas tempat tidur.
Bermaksud hendak menghubungi Celine seperti biasa -- setelah cukup lama tidak melakukan hal tersebut -- jarinya mengetuk benda di pergelangan tangannya. Namun, dia justru menemukan sebuah e-mail dari Luna. Ia segera bangkit kemudian membacanya dengan melebarkan layar hologram dengan sentuhan hingga seukuran pc tablet.
Akan tetapi, yang pertama kali dia temukan adalah hasil scan dari beberapa lembar buku berbahan kertas yang tampak sedikit lusuh.
"Ini Stella Hudson. Sekadar informasi, ini kutulis dua hari sebelum keberangkatan pesawat ulang alik H-190/45."
Laki-laki itu tertegun. Dua hari sebelum keberangkatan, sama artinya dengan empat hari sebelum kecelakaan besar itu. Dengan kata lain, tulisan ini adalah pesan terakhir ibu Celine sebelum meninggal. Masalahnya, Luna tidak mungkin mengiriminya jika bukan hal penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...