Sharon akhirnya kembali bertemu dengan Leon saat kembali ke ruang kelas. Akibat ditinggal secara tiba-tiba, dia harus terjebak dalam momen canggung karena hanya bisa melihat kedua sahabat karib itu bersenang-senang. Sementara dirinya di seberang meja hanya bisa terdiam sambil mengunyah kismis roti satu persatu. Sekarang tentu saja adalah waktu yang tepat untuk memarahi anak tidak tahu sopan santun itu.
"Ssstt ... simpan saja kemarahanmu untuk pulang sekolah nanti. Sayang sekali kalau nanti kau tidak punya topik bagus untuk dibicarakan," ujar Leon santai sambil menempelkan jari telunjuk di bibir temannya yang baru saja hendak berteriak marah. Sharon hanya mendengkus kesal karena mendapat respons semacam itu.
Sebenarnya, Sharon tidak benar-benar bingung harus mengajak Leon membicarakan apa. Yang menjadi masalah adalah topik apa pun -- dari yang paling sederhana sampai yang rumit -- selalu berakhir dengan perdebatan tak berujung. Itulah yang membuat gadis itu kadang kala malas mengobrol dengannya.
"Leon, ini kotak bekalmu. Sepertinya Sharon lupa sampai ingin meninggalkannya di meja kafetaria," ucap Celine yang baru saja masuk kelas. Dia sedikit terlambat karena harus kembali lagi ke tempat mereka makan siang setelah melihat Sharon pergi dengan tangan kosong. Seperti biasa, Leon menanggapinya dengan ekspresi malu-malu kucing.
Sharon kembali mendengkus. Celine memang tidak pernah mengerti akan rencana jahatnya. Atau lebih tepatnya, tidak tega berbuat jahat walaupun sedikit. Padahal dia sengaja meninggalkan itu agar teman kecilnya saja yang pergi mengambil sendiri. Bahkan, ia berpikir akan jauh lebih baik jika benda itu hilang ditelan bumi.
"Sudah kuduga, siswa yang ikut program studi banding itu benar-benar mencurigakan. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku yakin sekali dia pasti bernanung di bawah organisasi kriminal rahasia yang mencoba mengurangi populasi dengan menyebarkan virus," ujar Leon tiba-tiba.
Sharon yang sudah bosan mendengar berbagai macam teori gila tak berdasar yang dikemukakan temannya itu amat kesal. "Tenanglah, Sharon. Ada bagusnya kita dengarkan dulu," kata Cyril sambil memperlihatkan senyum tipis yang mengisyaratkan bahwa perintahnya harus dituruti jika tidak ingin terjadi masalah besar. Gadis itu pun hanya bisa diam sambil menghela napas panjang. "Kenapa kau berpikir begitu, Leon?"
Leon yang diberi kesempatan menautkan jemari. "Tentu saja, dia berasal dari daerah asal epidemi yang seharusnya diisolasi ketat. Sejak kedatangannya, sudah beberapa orang siswa kelas ini yang tidak masuk karena memiliki gejala penyakit yang sama. Angka kasus positif di kota juga terus melonjak naik. Dan barusan, aku membuntutinya yang terburu-buru pergi ke toilet. Anak itu ... memiliki gejala gangguan pernapasan yang parah," paparnya panjang lebar.
Protes dari Sharon kembali diredam dengan anggukan samar dari Cyril. "Masuk akal." Lelaki itu memejamkan mata sambil memegangi dagu. "Tetapi, siswa bernama Sebastian itu baru datang kurang dari seminggu. Sementara masa inkubasi virus tersebut rata-rata lima hari. Lantas bagaimana kau menjelaskan itu?"
"Apa kau sudah lupa? Lima hari adalah waktu yang dibutuhkan virus tersebut untuk membuat manusia yang memiliki imunitas kuat untuk terserang penyakit. Waktunya bisa menjadi sangat singkat jika kekebalan tubuh rendah. Lagipula, perubahan cuaca akhir-akhir ini cukup masuk akal menjadi alasan penurunan daya tahan. Kau seharusnya sudah memahami hal itu." Penjelasan Leon membuat Cyril menjadi ragu akan argumennya sendiri.
"Hei, aku tahu membicarakan orang di belakang bukan hal baik," celetuk Celine yang sama sekali tidak mengerti jalannya diskusi. Mereka bertiga pun menoleh dan menunggu sambungan ucapan gadis itu. "Tetapi ... apakah boleh membicarakan keburukan orang di depannya?" tanyanya pelan sambil menatap ke ujung ruangan.
Ketiganya spontan ikut melihat ke arah sana. Orang yang mereka bicarakan melihat balik dengan tatapan tajam. Mereka pun seketika membeku di tempat. Untuk memecah situasi canggung tersebut, Cyril berdeham keras. "Ergh ... Leon, aku punya roti selai kacang di tas. Kalau kau mau tau, silakan ambil sendiri," ujarnya dengan nada datar kemudian pergi. Satu persatu mereka pun segera membubarkan diri.
Meski begitu, tatapan tajam dari Sebastian masih terlihat.
------x---x------
Sementara itu, Gedung Kepresidenan yang baru saja menadapat laporan dari berbagai distrik tampak sangat sibuk. Para staf menggelar sidang mendadak dengan Presiden guna membicarakan jalan keluar dari masalah yang bertambah genting tersebut. Bahkan sekarang statusnya sudah berubah menjadi pandemi yang menewaskan lebih dari seratus ribu jiwa dalam waktu beberapa hari.
"Saya baru saja mendpat data dari Badan Pusat Statistik Global. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan. Imbauan yang diberikan masing-masing pemerintah Area tidak terlalu dihiraukan. Perlu ada tindakan tegas yang dilakukan serentak di seluruh dunia untuk memutus rantai penyebaran," ucap Presiden membuka sidang tersebut.
Pria itu menarik napas panjang. "Sepuluh tahun terakhir keuangan global meningkat pesat. Anggaran tersebut bisa membuat kita bertahan sampai tujuh bulan ke depan walaupun dengan menghentikan semua kegiatan perekonomian. Bukan saatnya untuk memikirkan kekayaan atau teknologi. Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan umat manusia dari kepunahan."
Salah satu staf kementerian mengangkat tangan, menginterupsi. "Tuan, kami sebenarnya sudah memikirkan hal tersebut dari jauh-jauh hari. Kami membangun sebuah instalasi karantina yang cukup untuk seluruh penduduk bumi, sementara pasien akan dirawat secara intensif di tempat lain oleh robot medis. Para dokter akan memprogram mereka dari tempat khusus. Kami yakin ini akan mengurangi kematian tenaga medis akibat kontak langsung dengan pasien."
"Tidak bisakah kita menggunakan AI? Dengan begitu siapa pun termasuk tenaga medis tidak perlu memforsis diri," respons Presiden yang tampaknya masih ragu dengan rencana tersebut.
"Usai Perang Dunia Ketiga, kita kesulitan untuk mendapatkan sumber daya untuk membuat komponen robot, Tuan. Waktunya juga terlalu sempit. Jika terlalu lama memikirkan persiapan selama karantina, kita akan kehilangan lebih banyak jiwa. Untuk anggarannya, saya sendiri akan menyumbang banyak untuk mengimbangi pengeluaran berlebih yang mungkin memicu kekacauan," terang pejabat lain yang memiliki posisi penting kementerian.
"Tuan, saya akan segera mengirimkan konsep mengenai instalasi karantina yang kami maksud. Barangkali Anda bisa memutuskan yang lebih baik nantinya," sahut yang lain. Semenetara sebagian besar yang lain menyatakan bahwa mereka setuju. Sementara tim kontra malah tenggelam oleh seruan pasukan pro.
Presiden bernapas berat. Memikirkan nasib rakyat yang dipimpinnya di tengah situasi kacau membuat ia kebingungan menemukan solusi terbaik. "Baiklah, dikarenakan situasi dan kondisi, sidang kita akhiri sampai di sini. Lakukan evakuasi secepat mungkin. Saya harap tidak ada kendala yang malah bisa menambah masalah." Seluruh pejabat di sana - baik yang setuju atau tidak - merespons patuh. Mereka kemudian meninggalkan ruangan satu persatu.
Sementara Presiden yang tadinya sibuk mencermati file yang dikirimkan anak buahnya bangkit dan memandang keluar dinding gedung yang terbuat kaca. Benda pemberi alarm bahaya sekaligus mesin penjaga keamanan seukuran capung yang berfungsi dengan baik beterbangan sehingga siapa pun memilih untuk tidak mengganggu selama pria itu menyendiri.
Di saat seperti itu, dia justru teringat akan wajah teman semasa sekolahnya dulu. Senyuman hambar pun terbit di wajahnya. "Kalau situasi seperti ini tidak ada, kita bisa bertemu, kan? Hei, kau pasti belum lupa akan janjimu waktu itu, kan?"
*
22 Desember 2020, 12:40 WITA.
Jangan lupa vote dan comment 😁.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...